Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Indonesia, Si Macan Ompong yang Semakin Ompong

24 Oktober 2020   03:23 Diperbarui: 24 Oktober 2020   04:01 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Dok. Batu Secret Zoo via kompas.com)

Contohnya dalam pasal yang mengatur upah. Pemberian upah sesuai UMK diasumsikan sebagai H0, sedangkan upah per jam diasumsikan sebagai H1. Diperlukan waktu satu bulan untuk melakukan uji validitas terhadap "upah".

Apakah upah per jam lebih besar layak dari upah sesuai UMK, atau justru kebalikannya. Jika upah per jam lebih layak untuk buruh, maka H0 ditolak alias perspektif Pemerintah salah. Namun jika kebalikannya, maka H0 diterima alias perspektif Pemerintah benar.

Sampai sini apakah sudah paham? Jika sudah, mari kembali ke konteks perspektif non objek. Jika belum, silahkan baca ulang, wkwkwk.

Ketika benang merah soal perspektif sudah ketemu, kita bisa mengartikan bahwa perspektif sama dengan relatif. Yang artinya, tidak ada kebenaran dan kesalahan absolut sebelum dilakukan pengujian. Sama halnya jika kita berbicara masalah hukum.

Ketika terdakwa dikatakan bersalah atas dasar banyaknya bukti kejahatan, maka hukuman kepada terdakwa merupakan kebenaran absolut. Namun jika kebaliknya, maka kebebasan terdakwa dari jerat hukum adalah kebenaran absolut. Kenapa bisa serumit ini?

Sebenarnya tidaklah rumit jika kita sudah tahu bahwa kita sedang hidup di zaman Post Modernisme. Dalam posmo, tidak ada benar dan salah yang absolut, yang adalah hanyalah relatif, atau bisa dibilang "abu-abu".

Semua orang berhak memberikan perspektif, sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Come on, this is free speech right? Kita hidup dalam negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Demokrasi, maka sangat tidak relevan jika terjadi banyak pembungkaman, intimidasi, diskriminasi, bahkan pembunuhan hanya karena perspektif kita dianggap berbeda (minoritas).

Perspektif minor belum tentu salah, begitu juga dengan perspektif major. Kenapa bisa demikian? Because this is perspective, bro! Not a conclusion after passing validation test

Saya pribadi sungguh sangat menyayangkan dengan banyaknya kasus pembungkaman, pembatasan berekspresi, khususnya tindakan represif yang dilakukan oleh negara lewat aparat keamanan, maupun ormas binaan.

Padahal, negara wajib mendengarkan perspektif mereka (massa) yang menuntut dibatalkannya aturan sapu jagad (Omnibus Law). Sehingga akan terjadi keseimbangan, karena yang didengarkan bukan hanya perspektif dari kubu pro Pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun