Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kesalahan Berpikir Masyarakat Pekerja di Indonesia

19 Oktober 2020   18:42 Diperbarui: 20 Oktober 2020   08:36 2819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tesla dikabarkan tertarik membuka pabriknya di Batang| Sumber: Reuters via Kompas.com

Image AP/Ben Margot via VOA Indonesia
Image AP/Ben Margot via VOA Indonesia
Beragam komentar saya temui dalam postingan itu. Yang pertama adalah, "Batang semakin maju". Sebenarnya, apa sih tolak ukur "maju" dalam sebuah kota bahkan negara?

Sebuah kota tidak bisa dikatakan maju hanya karena banyak pabrik milik orang luar negeri yang berdiri di sana. Sebuah kota tidak bisa dikatakan maju jika masyarakatnya bekerja semua. 

Ada banyak faktor yang diperlukan agar kota itu dapat dikatakan "kota maju". Ada pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengembangan teknologi, sumber daya manusia, sumber daya alam, merupakan beberapa faktor yang menjadi syarat majunya sebuah kota. Banyaknya pabrik yang berdiri pada sebuah kota, tidak bisa menjadikan kota itu sebagai kota yang maju. Inilah kesalahan berpikir yang pertama.

Yang kedua adalah, "mereka yang kemarin ikutan demo menolak Omnibus Law tidak usah melamar kerja di sana". Mereka yang demo menolak Omnibus Law, khususnya terhadap pasal-pasal yang berpotensi merugikan tenaga kerja, tidak bisa disalahkan atau dilarang untuk melamar pekerjaan pada sebuah pabrik. 

Mereka yang ikut menolak dan berdemo justru peduli dengan nasib buruh dan calon buruh. Upah yang layak, hak-hak yang seharusnya didapat, dispensasi dalam pekerjaan, hingga keberlangsungan/kepastian posisi mereka dalam sebuah perusahaan, adalah beberapa item yang mereka perjuangkan.

Usaha mereka tentunya berimbas kepada buruh yang tidak ikut aksi, bahkan mencibir aksi tersebut. Lalu, logika macam apa yang malah melarang hingga mengintimidasi mereka yang ikut aksi? 

Kenapa pula mereka dilarang untuk melamar kerja? Padahal, ketika lapar, kita butuh makan. Makan butuh uang. Untuk mendapatkan uang, kita perlu kerja. Memilih pekerjaan pun, kita jangan mengutamakan idealisme. Karena apa? 

Mencari pekerjaan yang sesuai dengan idealisme teramat susah. Kita memerlukan sikap realistis. Pekerjaan apapun bisa kita terima, asalkan urusan perut terpenuhi.

Tapi jangan lupa, selain realistis, kita memerlukan sikap rasionalis. Apa jadinya jika upah yang kita terima tidak memenuhi standar? Tidak mampu mengcover kebutuhan kita? Jam kerja yang tidak manusiawi? Hingga tidak adanya jenjang karier? 

Jika kita hanya stuck pada satu posisi dengan gaji yang masih sama, apa bedanya kita dengan orang-orang zaman penjajahan? Inilah kesalahan berpikir yang kedua.

Komentar ketiga yang saya soroti berasal dari komentar saya sendiri, yaitu "brand besar kok gajinya kecil?" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun