Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencumbui Tuhan

2 Oktober 2019   15:14 Diperbarui: 2 Oktober 2019   15:23 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Hara Nirankara

Aku pernah mencari. Mencari sesuatu yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Semakin aku mencari, rasanya semakin lelah. Hingga pada akhirnya ada seseorang yang tiba-tiba muncul, tiba-tiba datang tanpa permisi. Dia memaksaku untuk bercerita, apapun, asalkan kondisi tidak sunyi. Lalu aku menerka, kiranya ini sebuah jawaban? Tapi tidak mungkin sesederhana ini. Barangkali memang jawaban, tapi aku masih tidak percaya.

Dalam keheningan jiwa dan ragaku menyatu, kemudian melayang, terbang bersama angan yang tercipta dengan sendirinya.

Coba lihat lautan luas itu. Adakah di sana bersemayam sebuah Dzat? Sebuah Dzat di alam metafisika. Sebuah Dzat yang menjawab segala pertanyaan. Tiba-tiba datanglah sebuah suara, memaksaku untuk menerima, memberitahukan tentang sebuah tragedi, tragedi pilu yang tidak semua orang kuat menghadapinya.

Datanglah wahai fana, tunjukan segala keajaiban yang selama ini dicari oleh orang sepertiku. Tapi yang namanya fana, tetaplah fana. Sekeras apapun usahaku untuk mencari, yang fana akan tetap menghilang, entah bersemayam pada hati yang lainnya, hinggap, lalu menghilang lagi.

Sesuatu yang fana itu bernama Harapan. Mungkin memang benar, berharap dapat memberikan energi, dapat membuka cakra, tapi siapkah kita untuk menerimanya? Bisa saja energi itu terlalu kuat, hingga pada akhirnya kita terluka. Bisa saja cakra itu terbuka terlalu lebar, hingga yang masuk jutaan kubik kefanaan. Hingga pada akhirnya kita kembali terluka.

Terangkanlah wahai batu, bicaralah. Apa yang membuatmu tetap kokoh, tetap kuat, walau segala fenomena menghajarmu tanpa belas kasih? Kau terluka, tapi tidak menangis. Kau ditelanjangi, tapi tidak mengeluh. Bahkan kau dihancurkan, justru kepingan-kepingan yang tak mungkin utuh kembali itu dapat memperkuat. Benar saja, kau lah batu tanpa nyawa, tanpa fana, tanpa drama. Kau lah batu yang tak bisa berbicara, kau lah batu yang tak bisa merindu.

Mungkin Tuhan lupa. Ada baiknya Dia berpikir, kiranya keadilan apakah yang dapat memuaskan semua manusia? Apakah semua rasa harus sama, apakah semua harap kudu menjadi nyata? Lihatlah, bahkan Tuhan saja masih tetap bisu ketika kau ajak bicara. Mungkin tak ada salahnya menjadi batu. Biarlah keras, biarlah bisu. Karena memang tak ada gunanya bila menyerah. Suatu saat batu itu akan hancur, akan melebur, akan rapuh. Tapi setidaknya masih tetap kuat, walau pada akhirnya harus musnah.

Tidak ada yang abadi di dunia ini. Tidak ada yang mampu bertahan dari penderitaan. Semuanya akan musnah bila waktunya telah habis. Jika kau mampu berlari, lari lah. Jika kau tak mampu berlari, jalan lah. Bila kau tak mampu untuk berjalan, merangkak lah. Dan ketika tak mampu berbuat apa-apa, diam lah. Kau akan hancur dengan sendirinya. Kau hanya tinggal menunggu. Dan ketika waktumu telah habis, kembali lah. Kembali lah dalam ketiadaanmu.

Tak ada yang lebih indah dari kematian. Coba terka, kenapa manusia harus mati dan musnah? Terka lah. Teruslah menerka hingga kau benar-benar lelah dan menyerah. Jangan khawatir, menyerahmu bukanlah sebuah aib, tapi sebuah anugerah tertinggi. Sebuah anugerah yang tidak semua manusia  bisa dapatkan. Karena bertanya terus itu terkadang menyebalkan. Sesekali kau perlu mencari jawabannya sendiri. 

Dan ke manakah kau akan mencari jawaban itu? Tidak perlu jauh-jauh sampai ke Makkah. Tidak perlu jauh-jauh menginjakkan kaki di tanah yang telah dijanjikan. Jawabannya begitu sederhana, teramat dekat. Coba kau tanya pada dirimu sendiri. Coba kau selami dirimu sendiri. Karena jawabannya memang ada dalam dirimu sendiri. Di dalam dirimu. Di dalam dirimu sendiri. Di dalam dirimu sendiri.

Pejamkanlah kedua matamu. Rasakan. Rasakan sensasiNya. Rasakan keberadaanNya. Karena apa yang kamu cari dan pertanyaan sesungguhnya teramat sekali dekat. Teramat dekat sehingga kamu tidak menyadari keberadaanNya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun