Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Bersentuhan dengan Metafisika

19 September 2019   00:40 Diperbarui: 19 September 2019   00:53 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Hara Nirankara

Link video [ https://instagram.com/p/B2j5gtUgl05/?igshid=dx50g3sqz46a ]Sebenarnya kejadian ini sudah berlangsung beberapa bulan yang lalu, pengalaman tentang bergesekan secara langsung dengan dunia metafisika. Saat itu aku bersama teman baikku, Nanang. 

Aku mengajaknya untuk ngopi di Sapta Wening, sebuah desa di daerah Bawang, Kabupaten Batang. Perkara ngopi ini atas permintaanku, tetapi kawanku itu yang menentukan tempatnya. 

Setelah aku tahu nama tempat tersebut, aku bergegas untuk mencari semua informasi tentang tempat yang nantinya bakal kami singgahi. Ternyata di sana ada sebuah curug yang bernama Genting. Karena aku suka sekali dengan suasana yang berbau Curug, maka aku merengek kepada kawanku agar dia bersedia mengantarku ke sana.

Tujuanku ngopi tentunya untuk menenangkan pikiran, mengasingkan diri dari sebuah kota kecil bernama Pekalongan tetapi terlihat padat menjenuhkan kotanya. Singkat cerita, sampailah aku di kedai kopi itu. Suasananya nyaman, sejuk, dingin, banyak pohon karet, dan juga perbukitan yang dapat mengobati kejenuhanku. 

Aku berdiskusi dengan Nanang perihal pola pikir manusia, feminisme, hingga seks. Aku pernah mempublikasikan perkara diskusi kami, jika kalian ingat dan pernah membacanya.

Kami berdua sangat menikmati suasana di kedai kopi. Ditemani dengan dua cangkir Vietnam Drip Arabica, tempe mendoan, singkong goreng, dan juga sebuah buku karya Dee Lestari. Entah kenapa aku sangat cocok sekali ketika sedang berdiskusi dengan kawanku itu. 

Sebenarnya awal pertemuan kita sedikit lucu, berawal dari berbalas komentar di facebook, lanjut chat via pesan facebook, dan berakhir akrab di dunia nyata. Ternyata dia tetangga dari kakak iparku. Dia juga ternyata adik kelasku ketika di STM dan mengambil jurusan yang sama. Oh well, saya skip saja.

Setelah puas ngopi dan diskusi, tibalah saatnya untuk ke Curug Genting. Sebuah Curug yang terletak di Desa paling akhir, sebuah Curug yang terdapat Goa yang 'katanya' langsung menembus ke Yogyakarta. Tukang parkir di tempat itu menatapku dengan penuh misteri, dan aku pun merasakan hal yang janggal.

 Saat itu tidak banyak pengunjung, yang aku ingat ada 4 sepeda motor yang terparkir. Aku acuhkan tukang parkir yang aneh itu. Ketika aku menyentuh tangga pertama, aku langsung merinding. 

Aku coba berpikir positif, dan aku lihat banyak tenda-tenda pedagang yang tidak berjualan. Tahukah kalian, apa yang ada di pikiranku ketika melihat rentetan tenda pedagang yang sepi? Aku langsung terbayang Pasar Ghaib di di jalur pendakian via Dieng. Saat itu juga aku semakin merinding tetapi mencoba untuk tenang.

Dan, tibalah di pintu gerbang utama yang bisa kalian lihat sendiri pada video. Sekujur tubuhku merinding, kakiku tiba-tiba lemas, tapi aku masih memberanikan diri untuk melihat Curug Genting. Ketika aku melewati Tugu Barong itu, serrrrrrrrrr, bulu kudukku berdiri semua. Aku dan kawanku berjalan menuruni ratusan anak tangga menuju Curug. 

Nafasku sesak, kakiku lemas, hawa yang sangat dingin begitu kental. Sepanjang perjalanan, aku merasakan hawa yang berbeda, hawa dunia metafisika yang teramat kental. "Aku ingin foto di situ. Fotoin, Nang." kataku. 

Nanang langsung memfotoku, dan setelah selesai serta melanjutkan kembali perjalanan, Nanang berkata "Lin! Dulunya tempat berfotomu sering untuk menaruh sesajen." aku yang mendengar perkataan Nanang langsung berpikir, "Aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba aku ingij berfoto di situ. Rasanya seperti ada yang menarikku untuk singgah sebentar." tapi aku masih tetap berpikir positif.

Singkat saja, setelah selesai melihat Curug dan kembali menaiki ratusan anak tangga menuju pintu keluar, aku merasakan sesuatu yang aneh. Nanang berjalan di belakangku, kira-kira selisih 10an anak tangga. Dia terlihat lelah, berhenti di tengah dengan nafas yang terengah-engah. Aku yang mulai merasakan hawa yang tidak enak langsung bergegas menghampirinya dan memaksanya untuk jalan di depanku.

Percaya atau tidak terserah pembaca. Kanan dan kiri ada banyak sekali batu yang berjejer. Memang wujudnya batu, tapi yang aku rasakan, batu-batu itu menjelma menjadi ratusan wanita dari segala usia. Mereka seolah menyambutku, tapi bukan sambutan yang "indah". Mereka seperti menarikku, memaksaku untuk masuk ke dunia mereka. 

Aku yang juga lelah menaiki ratusan anak tangga, mencoba berinteraksi dengan mereka. Aku katakan "Aku dan kawanku orang baik. Jangan ganggu. Jangan ganggu." lalu aku dengan sengaja menyentuh beberapa batu itu secara acak. Tujuanku, aku ingin membuktikan kepada mereka bahwa aku dan Nanang adalah orang baik. A

ku sentuh beberapa batu secara acak. Ketika aku menyentuhnya, aku biarkan mereka mengambil energiku. Aku naik lagi, aku sentuh lagi. Terus begitu hingga tubuhku benar-benar lemas dan ingin pingsan. Aku tak mengapa, aku sengaja memberikan energiku sebagai pembuktian, bahwa kami adalah orang baik.

Setelah merasa cukup, aku berhenti menyentuh batu-batu itu. Dan tibalah kami di persimpangan. Aku duduk di pinggir, saat itu Nanang masih berdiri. Aku ingin sekali berkata, "Nang, jika ingin duduk, duduklah di tepian." tapi mulutku seolah susah untuk terbuka. 

Aku merasakan akan ada 'penguasa' yang lewat, sehingga aku ingin memberitahu Nanang, jangan duduk di tengah-tengah. Untungnya Nanang sudah tahu, ia cukup memiliki insting dan akhirnya duduk di pinggiran.

Sekitar 1-2 menit kami duduk, kemudian kami melanjutkan perjalanan pulang. Yang aku rasa: pusing, mual, lemas. Berkali-kali aku menepuk leher belakang dan berkata "Jangan. Jangan. Jangan ikut aku." aku menyuruh mereka untuk pergi, tapi sialnya mereka terus menempel di leher belakangku. Aku mencoba kuat, kami melanjutkan perjalanan karena memang aku merasakan sesuatu "ghaib" akan terjadi dengan langit yang semakin gelap tapi tidak mendung.

Akhirnya sampailah kami di halaman parkir, aku langsung duduk di anak tangga yang pertama. Entah kenapa air mataku ingin menetes, tapi aku tahan karena harus jaga image. Nanang berkata "Lin, wajahmu pucat sekali." aku yang ingin terlihat baik-baik saja berkata "ah masa sih." tanpa menunggu lama, kami memutuskan untuk pulang.

Belum selesai, selepas dari wilayah Curug, aku masih merasakan sesuatu yang mengganjal. Aku berulang kali ingin muntah, dan sampailah di satu titik [mungkin ini perbatasan], tepatnya di Pesantren Tazakka, aku merasakan mual yang begitu hebat, ingin muntah, tapi dalam hati aku berkata "Kalau aku muntah, celakalah aku. 

Energi-energi dari Curug akan masuk ke ragaku." untungnya aku kuat, dan keadaanku langsung membaik ketika melewati pesantren itu. Aku langsung bergegas, ngebut, menuju rumah Guruku.

Sampailah di rumah Guru Spiritualku. Tanpa basa basi, aku langsung mengucap salam dan menyelonong masuk. Aku langsung memperlihatkan video ini kepada beliau dan berkata "Mbah. Aku ingin dinetralkan." Beliau yang tahu keadaanku langsung menetralkan "sisi lain" dari tubuhku. Beliau berkata, "kenapa bisa sampai ketempelan?". 

Aku jawab "Aku transfer energi. Aku berinteraksi dengan mereka agar bisa pulang." lalu beliau menimpali, "Lancang! Kamu itu penakut, tapi ndableg." Lalu aku balas, "Lha gimana Mbah? Aku kan orangnya humble, jadi aku turuti interaksi itu." setelah keadaanku pulih, aku berkata sebelum pamitan, "Mbah, di sana ada banyak sekali pusaka." lalu aku dan kawanku bergegas pulang.

Tujuanku menuliskan ini hanya untuk menegaskan tentang apa yang pernah aku katakan, bahwa walaupun aku seorang Agnostik, tapi aku percaya dengan Tuhan dan juga metafisika. 

Aku sendiri sedari kecil sudah bisa merasakan tentang hawa-hawa ghaib yang ada di sekitarku. FYI, guruku pernah membuka auraku. Yang beliau lihat, aku memiliki aura berwarna putih dengan sedikit warna hijau. 

Kata beliau, auraku bagus, mungkin karena ini juga aku beberapa kali dikuntit oleh Mbak Kunti. Reaksiku setelah mendengar auraku, "masa sih? Perasaan aku suka nonton bokep, suka berpikiran yang cabul. Diriku ini masih jauh dari kata baik." sampai detik ini aku masih bertanya, kenapa orang sepertiku bisa memiliki aura yang bagus? TAMAT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun