Nafasku sesak, kakiku lemas, hawa yang sangat dingin begitu kental. Sepanjang perjalanan, aku merasakan hawa yang berbeda, hawa dunia metafisika yang teramat kental. "Aku ingin foto di situ. Fotoin, Nang." kataku.Â
Nanang langsung memfotoku, dan setelah selesai serta melanjutkan kembali perjalanan, Nanang berkata "Lin! Dulunya tempat berfotomu sering untuk menaruh sesajen." aku yang mendengar perkataan Nanang langsung berpikir, "Aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba aku ingij berfoto di situ. Rasanya seperti ada yang menarikku untuk singgah sebentar." tapi aku masih tetap berpikir positif.
Singkat saja, setelah selesai melihat Curug dan kembali menaiki ratusan anak tangga menuju pintu keluar, aku merasakan sesuatu yang aneh. Nanang berjalan di belakangku, kira-kira selisih 10an anak tangga. Dia terlihat lelah, berhenti di tengah dengan nafas yang terengah-engah. Aku yang mulai merasakan hawa yang tidak enak langsung bergegas menghampirinya dan memaksanya untuk jalan di depanku.
Percaya atau tidak terserah pembaca. Kanan dan kiri ada banyak sekali batu yang berjejer. Memang wujudnya batu, tapi yang aku rasakan, batu-batu itu menjelma menjadi ratusan wanita dari segala usia. Mereka seolah menyambutku, tapi bukan sambutan yang "indah". Mereka seperti menarikku, memaksaku untuk masuk ke dunia mereka.Â
Aku yang juga lelah menaiki ratusan anak tangga, mencoba berinteraksi dengan mereka. Aku katakan "Aku dan kawanku orang baik. Jangan ganggu. Jangan ganggu." lalu aku dengan sengaja menyentuh beberapa batu itu secara acak. Tujuanku, aku ingin membuktikan kepada mereka bahwa aku dan Nanang adalah orang baik. A
ku sentuh beberapa batu secara acak. Ketika aku menyentuhnya, aku biarkan mereka mengambil energiku. Aku naik lagi, aku sentuh lagi. Terus begitu hingga tubuhku benar-benar lemas dan ingin pingsan. Aku tak mengapa, aku sengaja memberikan energiku sebagai pembuktian, bahwa kami adalah orang baik.
Setelah merasa cukup, aku berhenti menyentuh batu-batu itu. Dan tibalah kami di persimpangan. Aku duduk di pinggir, saat itu Nanang masih berdiri. Aku ingin sekali berkata, "Nang, jika ingin duduk, duduklah di tepian." tapi mulutku seolah susah untuk terbuka.Â
Aku merasakan akan ada 'penguasa' yang lewat, sehingga aku ingin memberitahu Nanang, jangan duduk di tengah-tengah. Untungnya Nanang sudah tahu, ia cukup memiliki insting dan akhirnya duduk di pinggiran.
Sekitar 1-2 menit kami duduk, kemudian kami melanjutkan perjalanan pulang. Yang aku rasa: pusing, mual, lemas. Berkali-kali aku menepuk leher belakang dan berkata "Jangan. Jangan. Jangan ikut aku." aku menyuruh mereka untuk pergi, tapi sialnya mereka terus menempel di leher belakangku. Aku mencoba kuat, kami melanjutkan perjalanan karena memang aku merasakan sesuatu "ghaib" akan terjadi dengan langit yang semakin gelap tapi tidak mendung.
Akhirnya sampailah kami di halaman parkir, aku langsung duduk di anak tangga yang pertama. Entah kenapa air mataku ingin menetes, tapi aku tahan karena harus jaga image. Nanang berkata "Lin, wajahmu pucat sekali." aku yang ingin terlihat baik-baik saja berkata "ah masa sih." tanpa menunggu lama, kami memutuskan untuk pulang.
Belum selesai, selepas dari wilayah Curug, aku masih merasakan sesuatu yang mengganjal. Aku berulang kali ingin muntah, dan sampailah di satu titik [mungkin ini perbatasan], tepatnya di Pesantren Tazakka, aku merasakan mual yang begitu hebat, ingin muntah, tapi dalam hati aku berkata "Kalau aku muntah, celakalah aku.Â