Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bersembunyi di Balik Sabda

13 September 2019   14:40 Diperbarui: 13 September 2019   14:54 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin memang benar bahwa cinta itu bajingan, suatu hal yang teramat rumit untuk dijalaskan. Cinta membuat banyak orang mabuk kepayang. Cinta membuat banyak orang hilang kendali. Cinta membuat perasaan terus tumbuh, memberontak, dan merambatkan ilusi yang semakin mengikat. Kata demi kata, bayang demi bayang, harap demi harap, terus tumbuh berkembang yang akarnya semakin dalam menancap. Tak aku sangka, aku akan mengulangi  sejarah yang sama, terjatuh ke dalam lubang yang sama. Aku mengingkari logikaku sendiri, yang telah aku sugesti, bahwa cinta adalah omong kosong. Sebuah ilusi yang tak akan pernah musnah dari jagad persandiwaraan.

Andai saja Tuhan mengerti, betapa tersiskanya manusia karena cinta. Menderita, kesakitan, yang tak akan pernah tergambar melalui rangkaian kata. Diperbudak oleh sesuatu yang belum pasti, diperbudak oleh sesuatu yang teramat mematikan. Aku yakin, sekeras apapun usaha manusia untuk mengingkari, mereka tak akan pernah bisa untuk mengingkari yang namanya cinta. Cinta masuk ke dalam semua logika, ke segala sudut, sisi, dan juga memori. Merasakan saja sudah teramat lelah. Apalagi jika harus mencinta? Bodoh memang, terus diperbudak, dan tak sanggup untuk melawan.

Kepada laut aku bersabda, disaksikan oleh gemuruh angin dan burung yang berpasangan, aku akan membuang jauh-jauh perasaanku. Bila perlu, aku teramat segan untuk membunuh perasaan ini. Sabdaku terus terngiang, terus membekas, hingga akhirnya ia datang, dan kembali menumbuhkan harap.

Pecundang memang. Kenapa aku harus merasakannya lagi. Kenapa aku harus memikirkannya lagi. Padahal ia datang tak membawa harap. Padahal ia datang tak memberikan apapun. Tapi kenapa seolah perasaan ini terus memaksaku untuk kembali berharap? Mengharapkan hal yang tak mungkin bisa terjadi, mengharapkan hal yang teramat aneh untuk tercipta.

Hening. Berkali-kali aku hening memikirkan keterpurukanku. Mengapa aku harus selemah ini ketika sedang menghadapi sebuah perasaan. Rasanya ribuan musuh di luar sana akan tertawa, akan kembali meremehkanku, bahkan bisa juga, mereka akan memanfaatkan kelemahanku untuk kembali menjatuhkanku. Aku tidak percaya jika cinta akan berakhir dengan kebahagiaan. Habibie dan Ainun saling menangisi sebelum mereka berpisah. Mereka sama-sama tidak bahagia ketika akan saling menghilang.

Kau datang di saat aku sedang sepi. Kau tiba-tiba muncul di saat aku sedang gersang. Mengulurkan tangan, memberikan sentuhan. Bodohnya aku yang menganggap itu sebuah harapan. Bodohnya aku yang menganggap apa yang ia berikan adalah sebuah pelukan. Aku terlalu lelap dengan persaanku sendiri, hingga tak aku sadari, lama-kelamaan perasaan itu akan membunuhku.

Oh Tuhan, kiamatkanlah perasaanku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun