Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petaka di Ujung Usia

15 Agustus 2019   11:00 Diperbarui: 15 Agustus 2019   11:12 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Hara Nirankara

Dentuman angin menampar mata, menghunus pernapasan hingga sesak aku dibuatnya. Tetapi jalan indah yang aku lalui teramat sayang untuk dimusnahkan. 

Pohon-pohon yang tinggi dan besar, berdaun lebat, banyak kicauan burung yang bersemayam. Ranting-ranting yang mengering masih setia menempel sepanjang hayat. 

Sesekali aku dengar deruan air sungai yang memanggil. Aku lihat sekumpulan orang berjalan, memanggul cangkul, dan satu karung daun cengkeh. Di antara mereka ada yang membawa sebotol teh tawar, serantang makanan yang sederhana. 

Aku masih berjalan, menyusuri dunia yang entah bernama apa. Sejuk. Sepoi-sepoi angin masih setia mengiringi langkahku. Hening. Tak ada suara kematian yang menertawaiku.

Langkah-langkah semangat mereka membuatku terkagum. Telapak tangan yang kasar namun suci, telapak kaki yang mengeras demi sebuah kehidupan. Senyum-senyum manis tergambar dari wajah mereka. Sedangkan tatapan tulus, oh, bangsat tiada terkira.

Pada akhirnya kamu tidak akan butuh sebuah pengakuan. Sehebat dan sekeras apa dirimu berjuang. Sedang pada faktanya masih ada jutaan orang yang kuat serta tegar, mengguyur kemarau panjang dengan air mata mereka, demi benih yang diharap segera berbunga. Lihatlah, kawanku. Mereka sama sekali tidak peduli seberapa luas ilmumu, seberapa tinggi kastamu. 

Yang mereka tahu hanya berjuang dan berjuang. Segenap nyawa rela dipertaruhkan demi menjaga hak milik. Hak milik yang kian lama direnggut oleh orang yang merasa berkuasa. 

Hak milik yang lambat laun disita oleh negara. Sedang penguasa hanyalah penguasa. Perannya tidak lebih seperti notaris kacang, yang hanya bisa memberikan tanda tangan.

Melalui perintah di atas surat itu kehancuran akan segera datang. Menumbangkan pohon-pohon yang telah berjasa bagi umat manusia. Menghancurkan harapan-harapan hidup layak dari para buruh pedesaan. 

Tanah yang membukit itu akan segera dikeruk, dihisap segala isi perutnya. Ranting-ranting yang kokoh itu akan segera mengering. Burung-burung yang menyanyi itu akan lari kocar-kacir. Bahkan raja hutan pun akan kehilangan aungan.

Tidak ada yang dapat mengalahkan post modernisme. Tidak ada kebenaran yang diakuinya. Dan kesalahan pun dibuang jauh tak berbekas. Mesin-mesin penghancur itu begitu kuat tiada tanding, memusnahkan segala usia yang diistimewakan. 

Semuanya akan hancur berkeping-keping, seiring dengan kemajuan jaman. Tak ada yang peduli dengan nasib bumi. Nasib na'as yang telah memberikan segalanya. Orang-orang rakus itu terus merengsek sengak, "minggatlah umat nir kasta!".

Kehidupan ini berjalan sesuai rasinya, berputar sesuai masanya. Tak ada yang dapat mengalahkan ketamakan. Bahkan Tuhan sekalipun. Jerit-jerit pilu, tangis-tangis kalah, dan gerojokan air mata tak akan pernah membuat mereka peduli. Bahkan hanya untuk sekedar mendengar.

Andai saja Robin Hood itu nyata, aku yakin, pasti Ia akan menghabisi semua kaum tanpa rasa iba. Bergotong royong bersama umat seperjuangan, kembali merebut demi mengembalikan senyum Sang Bumi. 

Tak ada do'a yang terkabul, tak ada asa yang tercapai. Semuanya hilang lenyap ditelan modernitas, yang lambat laun akan digantikan oleh modernitas yang lebih unggul.

Kata orang, harta tidak dibawa mati. Pintarlah mereka yang berkata seperti itu. Sedang mereka terlalu bodoh untuk selalu pasrah tertindas. Tapi apa daya, mereka memang sengaja dibuat bodoh, agar pesaing tak bertambah banyak. Yang segelintir saja merusak segalanya. Apalagi jika banyak? Kiamatlah sudah masa depan anak dan cucu kita.

Di sini, aku duduk memandangi perbukitan tandus. Yang tadinya hijau, sekarang gersang kekurangan air. Bukit-bukit yang sudah gundul itu semakin menua, hamparan pohon yang tak berdosa berubah menjadi hamparan tanah berwarna coklat. Ya, pohon-pohon yang memberi kehidupan semakin sering ditebang. 

Sedang mereka tak disediakan penerus. Longsorlah! Ribuan kubik air hujan segera turunlah! Agar mereka yang dibodohi itu sadar, bahwa apa yang mereka gadaikan akan memusnahkan mereka sendiri. Dan coba lihatlah kepada mereka yang hanya bisa pasrah. Sudikah kalian menanggung semua air matanya?

Aku masih di sini, menikmati keindahan yang mungkin saja akan lenyap sebentar lagi. Tak ada yang bisa aku lakukan selain berpuisi, bernarasi. 

Tapi jika banyak orang sepertiku bersatu, menghimpun kekuatan, aku yakin, alam akan tetap lestari. Lekaslah berakhir, Post Modernisme. Hancurlah hingga kau tak akan pernah bangkit lagi.  Rassa-rasanya dunia ini semakin panas, dengan banyaknya kebenaran yang dipertahankan. Sedang kesalahan, najis tai asu untuk diakui.

Dan untukmu wahai pemandangan yang menenangkan hati ini, mendamaikan mata ini. Bertahanlah. Biarkan aku bercerita kepada penerusku. Agar mereka penasaran, dan membuktikan sendiri tentang cerita keindahanmu.


Paninggaran, Agustus, 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun