Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Matilah Wahai Perasaan

31 Juli 2019   11:17 Diperbarui: 31 Juli 2019   11:21 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Hara Nirankara

Embun turun menebar manis. Tiap-tiap insan terlelap dalam fantasi. Ada orang yang setiap harinya berdzkir memohon ampun. Ada pula yang masih setia di meja judi. Memang beginilah manusia, primata yang paling unggul, yang paling superior. Makhluk fana yang selalu mengedepankan nafsu ketimbang akal. Dan perkara nafsu itulah yang membuat beberapa orang sepertiku, yang selalu terjebak ke dalam fatamorgana. Yang tiada pernah berakhir walau nyawa dipersembahkan. 

Aku selalu terheran kenapa rindu pasti hadir di setiap aku ingin memehamkan mata. Rasa rindu yang tiap menit makin menggunung, tapi tak pernah berani aku sampaikan.

Beberapa orang sepertiku terjebak ke dalam pergulatan, dimana aku harus memilih satu dari dua pilihan yang sama-sama benar. Tapi jika aku memaksakan untuk memilih. Salah satu di antara yang benar itu akan tersakiti. Dan perlahan akan meninggalkanku. Hingga tibalah propaganda penyesalan.

Aku sering memandangi bias. Berada di ruang hampa yang tak seorang pun tahu. Terdiam, melamun, serta merindu. Tapi rindu itu hanya sebatas rindu. Tak akan pernah berarti apapun. Karena aku sengaja meluapkannya pada ruang hampa. Bertebaran. Melayang bebas tanpa arah tujuan. Sudah seharusnya seperti itu. Sebab, aku tak ingin kehilangan salah satu di antara keduanya.

Banyak orang mengeluh. Menyalahkan diri sendiri ketika tak kuasa menahan nafsu. Aku sendiri beberapa kali menyalahkan diriku sendiri, kenapa aku harus membiarkan perasaan itu singgah dan berkembang. Tapi teramat bodoh jika aku harus menyalahkan diriku sendiri. Aku harus bisa berdamai dengan kenyataan, dan berhenti menyalahkan. Aku mempunyai kuasa atas diriku sendiri. Dan aku juga harus berkuasa atas pilihan itu. Jika aku tidak bisa memilih karena takut kehilangan. Maka aku harus membunuh salah satunya.

Hidup itu memang harus memilih. Di setiap pilihan itu harus disertai konsistensi. Tak peduli sebesar apa penyesalan yang akan datang, karna penyesalan itu pastilah ada. Dan tak mungkin bertahan selamanya. Lambat laun penyesalah itu akan hilang, digantikan oleh sesuatu yang haru. Muncul. Hilang. Muncul. Hilang. Dan begitu seterusnya. Aku lebih memilih untuk membunnuh perasaanku sendiri. Karena yang aku bunuh adalah apa yang ada di dalam diriku. 

Aku tidak harus membunuh perasaan orang lain yang bisa saja akan membenciku seumur hidupnya. Dengan aku membunuh perasaanku sendiri, aku tidak akan kehilangan salah satu di antara mereka. Aku masih bisa bersama dengan mereka tanpa pernah takut dan terus bersembunyi. Ya. Menyembunyikan perasaan yang bisa merusak segalanya. Tapi jika aku membunuh salah satu di antara perasaan itu, aku kehilangan hanya sebatas fiksi, bukan non fiksi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun