Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Matilah Wahai Perasaan

4 Juni 2019   15:47 Diperbarui: 4 Juni 2019   15:55 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kala itu begitu indah. Aku berjalan menyusuri hutan lebat yang masih asli. Sejauh mata memandang, aku melihat banyak anggrek bergelantungan di batang pohon, berwarna pelangi. Teratai, tulip, dan juga raflesia. Jika aku boleh mengira, hari itu adalah hari terbaik dalam hidupku, dipenuhi dengan keindahan alam yang sangat mempesona. Sinar matahari tidak begitu terik, dan angin tidak begitu bergemuruh. Daun-daun melambai, sesekali terdengar kicauan burung kematian. Aku berjalan menyurusi jalan tak berarah, melangkahkan kaki mengikuti mata memandang. Sepi, asri, dan wangi. Hal-hal yang tidak pernah aku temui sebelumnya.

Sudah sejak lama aku memimpikan akan hal ini. Bersemayam di dalam hutan yang begitu asing namun terasa sangat nyaman. Dan memasuki dimensi lain yang hanya aku seorang dapat melihatnya. Sejenak aku duduk di tepi pohon kamboja, yang duannya berjatuhan seolah menyambut kedatanganku.

Aku tidak membawa apapun selain buku kematian. Handphone, bahkan identitas sengaja aku tinggalkan. Lalu aku mulai menulis sajak-sajak tentang bunga, wangi, dan perasaan. Aku tidak merasa kesullitan dalam mencipta sajak, karena sajak-sajak itu sudah aku persiapkan sebelumnya, jauh sebelum aku mengenal lelah dan air mata. "lambat laun bayi yang menangis akan tertidur pulas, begitupula dengan diriku. Aku merasa sudah lelah menguraikan setiap jengkal perasaan, yang akhirnya air mata menetes oleh sebab patah hati. Ketika aku sudah mulai lelah menangis, aku ingin tertidur pulas. Tertidur tanpa gangguan dari siapapun, tertidur untuk selamanya."

Di depanku terdapat hamparan bungan berwarna ungu, tapi aku merasa lelah untuk menghampirinya. Bibirku kering, mataku sayu, dan hatiku telah sekarat. Aku tidak ingin membangunkan kumbang yang sedang beristirahat, atau yang tengah sibuk mengumpat. Aku hanya perlu duduk, menikmati setiap detik yang tersisa. Aku tidak perlu lagi melaju, meminta, dan berharap. Aku hanya perlu diam, hening di sisa akhir zaman.

Di atas sana terdapat ranting pohon yang sudah mengering, tapi bertahan agar tidak melukai makhluk yang ada di bawahnya. Dan aku ingin sekali seperti ranting yang sudah mengering itu. Berdiam diri, dan kalah dengan sendirinya. Aku sama sekali tidak mengharapkan ada orang lain di sampingku. Aku memilih untuk sendiri, sendiri di sisa masa kejayaanku. Orang lain berhak mendapatkan kebahagiaan, dan menyelesaikan urusannya masing-masing. Aku tidak ingin mereka sibuk menemaniku, bermunafik ria agar terlihat seperti seorang pahlawan super. Biarkan mereka sibuk dengan dunianya masing-masing, hingga aku tidak lagi mempunyai asalan untuk bertahan.

Aku menyadari sisa umurku, dan aku harus secepatnya menghilang. Berjalan secara perlahan, dan berlari secara sembunyi-sembunyi. Aku tidak ingin ada badai pertanyaan, aku tidak ingin ada badai hujatan. Karena aku sudah teramat lelah, lelah selelah-lelahnya. Tidak ada lagi alasanku untuk bertahan, tidak ada lagi yang harus aku pertahankan. Aku ingin mati di sini, di tempat yang tidak aku kenal sebelumnya, tapi selalu aku harapkan sebelumnya.

Hal yang paling utama adalah membunuh perasaan. Aku harus membunuh perasaanku sendiri. Tidak ada lagi yang namanya iba, dan berharap kepada seorang manusia. Aku membuang jauh-jauh logikaku, berperang tanpa henti melawan perasaanku sendiri. Dan ketika perasaan yang menjajahku telah mati, aku hanya perlu tersenyum, memejamkan mata, dan membiarkannya tertutup untuk selamanya.

Menangislah wahai alam. Karena yang aku butuhkan hanya tangisanmu. Gemuruh sebuah tragedi tentant kehilangan, akan membisukan tangisan di luar sana. Tangisan-tangisan dari orang-orang yang tak pernah aku harapkan.

Mati di tengah-tengah kesunyian, mati tanpa sepengetahuan orang-orang, adalah puncak dari segala keinginanku. Aku tidak memerlukan siapa pun, aku tidak membutuhkan keibaan apapun. Aku hanya butuh sendirian, mati di tempat yang aku inginkan, menghilang dari orang-orang yang pernah aku kenal. Jasad ini tidak akan pernah ditemukan. Bahkan hewan buas akan menangis getir untuk memangsaku. Dan di tempat yang semenakjubkan ini, aku ingin mendirikan sebuah tugu perjuangan. Sebuah perjuangan yang teramat lelah mengejar kepalsuan, dan tertikam oleh harapan yang sengaja aku ciptakan sendiri. Biarkan alam yang menyelesaikannya, biarkan alam yang melenyapkannya. Dan aku berharap tidak meninggalkan satu memori pun untuk mereka, karena aku sendiri sudah merelakan mereka semua.

"tidak ada yang tahu kita akan berakhir seperti apa." Dan aku tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Hidup dalam bayang-bayang fatamorgana, dan hilang bersama bayang-bayang itu sendiri. Setidaknya aku masih bisa tersenyum di akhir perjalananku, tersenyum melihat dominasi ketulusan dari makhluk-makhluk yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Membusuk di tengah wewangian adalah pencapaian terbesar di sepanjang usiaku.

Aku berharap tidak ada lagi manusia yang sudi berakhir sepertiku. Berakhir secara menyedihkan tanpa siapapun, tanpa do'a apapun. Tapi lagi-lagi "tidak ada yang tahu kita akan berakhir seperti apa", mungkin juga akan ada orang yang berakhir sepertiku ku. Dan mungkin juga sebelumku sudah ada orang melakukan hal yang sama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun