Teh Penghujung MingguÂ
Karya Zulfambr
Suatu hari di penghujung minggu, saya tatap mata sayu yang Bapak tujukan kepada rumput. Saya tuangkan teh yang agaknya masih panas sebab kepulan asapnya membumbung tinggi, menyusul burung-burung yang pergi. Bapak menatap saya, diarahkan sebuah lengkung yang cantik, acap kali dikata senyum palsu, namun bagi saya seluruh bentuk ekspresi beliau hanyalah tulus untuk anak dan cucu.
"Sepertinya anak Bapak yang ini sudah beranjak dewasa."Â
Saya anggukkan kepala, Bapakpun menyesap tehnya dengan hangat. Saya masih terpaku, dengan pandang yang enggan merubah arahnya, terus saya perhatikan sedikit demi sedikit kerut pada dahi dan pipi yang Bapak miliki.Â
"Iya, sudah kepala dua. Tanggung jawab semakin besar."Â
"Ya begitu Nduk, memanglah berat ketika memulai, tetapi Bapak percaya kalau anak Bapak yang ini bisa segalanya, ya?"Â
"Semakin kemari aku tidak tahu mau jadi apa, Pak. Kuliah di jurusan yang aku inginkan ternyata tidak menjamin minat dan masa depanku, banyak yang lebih ahli dan lebih pandai dariku. Aku takut tidak dapat memenuhi harapanku sendiri, untuk membahagiakan Bapak dan Ibu."Â
"Apa anak Bapak ini lupa kalau dahulu ingin sekali menjadi ibu guru?"Â
"Aku masih ingin ... tetapi Pak, melihat nasib tenaga pengajar di zaman ini membuatku ragu. Apakah aku bisa bertahan hidup nantinya? Gajiku tidak seberapa, selepas kuliah masih banyak yang harus kulakukan untuk menjadi ibu guru. Aku takut tidak sanggup, sementara teman-teman di lingkungan kita rata-rata sudah memiliki bisnis dan usaha kecil-kecilan. Apakah aku salah langkah? Apa seharusnya aku seperti Abang yang bisa sukses menjadi tenaga medis? Apa harusnya aku menuruti kata Mbak untuk bekerja daripada kuliah?"