Mohon tunggu...
HMDIE FEB UB
HMDIE FEB UB Mohon Tunggu... Lainnya - Himpunan Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

#SATUJIWAIE #OSIOSIOSI #PROUDTOBEIE #AMERTAASA

Selanjutnya

Tutup

Money

Central Bank Digital Currency: Resolusi di Tengah Gemuruh Criptocurrency atau Hanya Sekedar Ilusi Negeri Ini?

18 April 2021   18:10 Diperbarui: 5 Mei 2021   07:43 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Nada Fikriyah Atifah mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya

Bank Indonesia merupakan pihak utama yang berwenang dalam mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran di Indonesia. Lembaga negara yang dikenal sebagai pihak independen ini, menyatakan bahwa sistem pembayaran selalu berkaitan dengan proses pemindahan sejumlah nilai uang dari satu pihak ke pihak lainnya. 

Evolusi sistem pembayaran di Indonesia, terbagi menjadi dua yaitu, perkembangan sistem pembayaran tunai dan sistem pembayaran nontunai. Masyarakat Indonesia sendiri mulai mengenal sistem pembayaran tunai sejak berakhirnya masa barter yang menitikberatkan dan memperjualbelikan nilai kelaziman. 

Dalam masyarakat modern ini, pemakaian alat pembayaran tunai menjadi lebih kecil persentasenya, yaitu sekitar 43% dibandingkan dengan pemakaian alat pembayaran nontunai. Hal ini diakibatkan adanya inefisiensi pengelolaan uang tunai dan pengadaan yang terbilang mahal. 

Mengacu data Bank Indonesia (BI), nilai transaksi pembayaran digital atau uang elektronik mencapai Rp47,19 triliun sepanjang 2018. Angka itu meningkat empat kali lipat dibandingkan nilai transaksi tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp12,37 triliun. Pertumbuhan transaksi digital dari layanan fintech juga tercatat paling tinggi. Dalam satu tahun terakhir mencapai 55%, melampaui kenaikan penggunaan layanan milik e-commerce (47%), bank (41%), uang tunai (35%), dan provider telekomunikasi (33%).

Sumber: Statista
Sumber: Statista

Pandemi virus corona (Covid-19) juga menjadi alasan tambahan pemakaian alat pembayaran nontunai. Selain menimbulkan krisis kesehatan, pandemi Covid-19 juga menimbulkan krisis ekonomi global yang mengancam berbagai kelangsungan negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Namun, di sisi lain pandemi Covid-19 menimbulkan tren baru di sisi finansial, yakni pemenuhan transaksi secara digital. 

Oleh karena itu, BI sendiri memandang penting untuk mempersiapkan secara memadai, termasuk untuk menghadapi situasi yang berubah melalui peluncuran rupiah jenis baru dalam bentuk digital yang dipandang efisien untuk bersaing menghadapi cryptocurrency seperti Bitcoin dan Ethereum yang sedang naik daun di tengah masyarakat Indonesia. 

Pembuatan rupiah digital/Central Bank Digital Currency (CBDC) diharapkan dapat menjadi bagian dari proses digitalisasi ekonomi Indonesia yang saling terintegrasi antara satu dengan yang lain. Bank Indonesia berencana menjadikan rupiah digital ini sebagai mata uang digital resmi milik Indonesia. Untuk itu, Bank Indonesia juga akan melakukan koordinasi dengan bank sentral di negara lain.

CBDC ini nantinya akan dianggap sebagai versi digital dari uang cash fisik yang diterbitkan bank sentral. Dimana ia memiliki kemiripan seperti dompet digital para fintech, tetapi mempunyai satu perbedaan mendasar, yaitu uang dalam bentuk CBDC setara dengan setoran atau simpanan di bank sentral atau dengan kata lain CBDC akan menjadi sebuah representasi digital dari uang yang menjadi simbol kedaulatan negara atau sovereign currency yang diterbitkan oleh bank sentral dan menjadi bagian dari kewajiban moneternya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun