Mohon tunggu...
H.M.Hamidi
H.M.Hamidi Mohon Tunggu... Lainnya - Berusaha Berdo'a Bersyukur Berpikir Positif

Pekerja Sosial, Pelaku Pemberdayaan, Praktisi Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gerakan Reformasi dan Gerakan Repot Nasi (Sebuah Catatan Kritis Mantan Aktivis Gadungan 98)

25 Mei 2020   17:19 Diperbarui: 25 Mei 2020   19:28 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penulis memang seorang aktivis gadungan kala itu, yang ikut bergerak di daerah Kota Malang, menyuarakan nasib rakyat yang tertindas akibat ketidakadilan penguasa, ikut juga merasakan perihnya gas air mata dari aparat yang menghalangi gerakan mahasiswa. Puncaknya terjadinya insiden berdarah  di depan kampus  ITN dan kampus Unmer Malang sekalipun tidak ada korban jiwa seperti di Jakarta. 

Sehari sebelum gedung DPR diduduki oleh rekan rekan mahasiswa penulis  bersama rombongan SMPT Universitas Merdeka Malang mengikuti acara diskusi bertajuk "AKSI" di stasiun TV Indosiar bersama dua perguruan tinggi di Jakarta dengan tema "Dwi Fungsi ABRI".

Karena saat itu kami di dampingi oleh beberapa Dosen yang membidangi kemahasiswaan  tidak bisa bergabung dengan rekan mahasiswa dari seluruh Indonesia dari berbagai latar belakang dan kepentingan yang sudah mulai berdatangan menuju senayan.

Gerakan reformasi telah bergulir 22 tahun yang lalu. Gerakan yang menginginkan perubahan mendasar dari sistem pemerintahan di bawah kendali Orde Baru,  baik secara politik, sosial dan ekonomi, namun  belum menunjukkan hasil yang membanggakan hingga saat ini. Semangat penegakan hukum dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi untuk melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa ada intervensi oleh dan dari pihak luar manapun termasuk penyelenggara negara, hingga kini masih menjadi permasalahan akibat kelalaian pemerintah. 

Estapet kepemimpinan pasca reformasi telah beberapa kali berganti, namun belum menunjukkan hasil yang berarti bagi kesejahteraan rakyat dan kemerdekaan berpendapat sesuai dengan semangat reformasi.

Bangsa Indonesia sebagai bangsa besar sepertinya belum menemukan jati dirinya sebagai bangsa yang beradab dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang cita citakan  para pejuang dan pendiri bangsa ini.

Tatanan ekonomi semakin tidak menentu, korupsi semakin menggurita dari pusat hingga desa. Penegakan hukum masih tebang pilih, kemiskinanpun masih sangat tinggi, kalau tidak mau dianggap semakin bertambah.

Berbagai program yang gulirkan oleh pemerintah sebagai usaha untuk mengentaskan kemiskinan seakan akan membuka peluang bagi koruptor gaya baru dengan dalih pendampingan dan pengawasan, rekruitmen tenaga pendamping sarat dengan kepentingan politik tertentu. Pengadaan barang bantuan untuk rakyat kecil hanya dimonopoli oleh orang yang dekat dengan kekuasaan.

Kriminal dan penyalahgunaan bahan bahan terlarang semakin mengkhawatirkan, hampir semua lapisan masyarakat dari pejabat hingga rakyat kecil, dari kota hingga pelosok desa, dari preman hingga masuk pesantren terjerat olehnya.

Lalu Apa yang salah dari negeri kita tercinta ini....?

Pioner pioner mahasiswa yang menggerakan reformasi 22 tahun yang lalu, banyak yang berada di areal kekuasaan, baik di ekskutif, legislatif maupun yudikatif. Suara lantang dan garang saat memperjuangkan kebebasan dan keadilan ketika gerakan reformasi, kini tiada bertaji lagi, terbuai dengan keindahan singgasana kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun