Event demokrasi 5 tahunan di republik ini, tak bisa dibendung membuat NU umpat repot. Ini bukan direkayasa, melainkan karena panggilan jiwa. Bagaimana tidak, mereka yang rame2 memback up pasangan Capres tertentu, umumnya orang2 yang alergi dengan NU, memusuhi NU. Di situ ada beragam kumpulan orang, yang rata2 anti NU (sengaja saya tak sebut kelompoknya).
Melihat keadaan yang nampak genting tersebut, hampir semua elemen NU akhirnya tergerak hatinya untuk turun gelanggang. Itu terlihat di banyak wilayah, khususnya di Pulau Jawa. Hasilnya mengagumkan, calon yang didukung NU menang telak.
Tetapi pola yang sama tak berlaku di luar pulau Jawa. Sebutlah di Pulau Kalimantan, seperti Kalimantan Selatan. Meski di Banua ini banyak tokoh NU, bahkan di sibulah tempat pimpinan NU ini lahir (KH Dr. Idham Chalid), ternyata dukungan warga NU tidak luar biasa. Padahal di daerah ini struktur NU nya sudah bergerak terbuka, seperti memasang spanduk dan baliho besar "Warga NU Pilih Kyai NU" di mana2.
Ada banyak yang kontak saya, kenapa ? Menurut saya, ada banyak kemungkinan penyebabnya. Pertama, struktur NU nya yang mungkin telat mengantisipasi gerakan kelompok pendukung "Ijtimak Ulama". Temuan lapangan menunjukkan, dukungan ini masif disebarkan melalui beragam media sejak 6 bulan sebelumnya.
Kedua, keterlibatan majelis taklim dan habaib yang masif. Karakter sosio politik etnik Banjar yang begitu luar biasa taatnya, jika sudah berhadapan dengan ulama dan habaib ini.
Ketiga, perilaku machiavelli yang masif mengabarkan berita fitnah dan hoax. Ironisnya, kaum terdidik sekali pun ikut terpapar isu2 buruk tersebut.
Hasilnya, menyedihkan. Arus bawah NU berbeda jauh dengan NU arus atas. Ini artinya, NU banua harus kerja keras, merapikan kekisruhan dan serangan yang dahsyat, yang membuat jamaah NU terkontaminasi ide dan pikiran kontra produktif.
Memang, sejarah politik NU merupakan sejarah yang panjang, termasuk konflik yang menyertainya. Tulisan pendek Ichsan di bawah ini, yang tersebar di sejumlah WA menarik dicermati.Â
Menurutnya, krusial NU terjadi dalam banyak moment. Misalnya, 2014 - 2015 musim pilkada, kita sibuk dalam pesta 5 tahunan. Kita sibuk memperjuangkan "figur NU", dan dampaknya masyarakat kita termasuk NU terpolarisasi secara otomatis.
Kemudian, pada tahun 2016 - 2017 Â saat musim pilgub DKI Jakarta, kita NU juga terlibat keriuhan Pilgub ibu kota yang selalu menarik untuk dibicarakan baik menghujat maupun memuji.
Lantas, pada tahun 2017 - 2018 musim pilkada serentak, kita banyak menghabiskan waktu perang opini dan kampanye untuk kemenangan "figur NU".