Mohon tunggu...
HisbullahMD
HisbullahMD Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bismillah

Ada harapan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penyatuatapan Peradilan Agama di Bawah Mahkamah Agung (Studi Hukum Responsif)

17 Oktober 2021   22:26 Diperbarui: 17 Oktober 2021   22:44 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Persoalan satu atap adalah fenomena lama dalam persoalan independensi kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif). Ajaran pemisahan kekuasaan (Montesquieu) pada dasarnya berintikan independensi masing-masing alat kelengkapan Negara (legislative, eksekutif, dan yudikatif).

What?

Pro dan kontra ini terus berlangsung, bahkan juga dalam menafsirkan hasil ketetapan MPR Tahun 1998 yang menyatakan bahwa "fungsi yudikatif harus dipisahkan dengan fungsi eksekutif". Kelompok yang pro satu atap menyatakan, bahwa ketentuan itu menghendaki agar seluruh lingkungan peradilan berada pada lembaga yudikatif, tidak dipisah seperti selama ini. Sedangkan kelompok yang kontra berpendapat, bahwa yang harus dipisah adalah "fungsi" bukan "lembaga"nya. Justru tidak benar jika suatu lembaga Negara menangani dua fungsi, yakni fungsi yudikatif sekaligus fungsi eksekutif. 

Kelompok yang kontra in beranggapan ketetapan MPR tidak menghendaki adanya penyatuatapan peradilan3. Artinya konsep yang kontra tidak menghendaki terhadap perubahan dalam penyatuatapan Peradilan Agama dan tidak menunjukkan suatu sikap terhadap hukum responsif pada sebuah perkembangan zaman, dimana semakin terbukanya ruang untuk adanya sistem cek and balance.  

Why ?

faktor adanya konflik antara tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia (Hukum Islam, Hukum Sipil/Barat, dan Hukum Adat) yang kemudian diperuncing oleh konsep-konsep/teori-teori hukum yang dicetuskan para ahli hukum kolonial pun memiliki andil atas pasang surutnya eksistensi Peradilan Agama. Sebut saja teori Receptio in complexu (Prof. Mr. Lodewijk William Christian Van Den Berg), teori Reseptie (Prof. Christian Snouck Hurgronje dan C. Van vallenhoven), teori Receptie Exit (Prof. Dr. Hazairin, SH.) dan teori Receptie a Contrario. Maka peradilan agama sebagai sistem peradilan yang diakui sebagai sistem peradilan nasional di Indonesia berada pada sistem kekuasaan pemerintahan di sektor kekuasaan yudikatif atau kehakiman yang eksistensinya jika dilihat sebagaimana ketentuan Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan

who ?

Menurut Bagir Manan, bahwa langkah utama yang harus dilakukan dalam rangka pembinaan dan pengembangan lembaga Peradilan Agama pada masa reformasi adalah pertama, usaha untuk mewujudkan sistem peradilan yang terpandang, berwibawa, bermutu, dan mampu berjalan seiring dengan lingkungan bada peradilan lain (maksudnya adalah harus dilakukan penyatuatapan lembaga peradilan agama sehingga dimata peradilan lain dapat sejajar dari aspek kewenangan dan wibanya). Kedua, mewujudkan sistem Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mampu mewujudkan keadilan dan kebenaran dan sekaligus menjadi salah satu wadah penting untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Ketiga, usaha memperbesar peranan sistem Peradilan Agama, selain di bidang yustisial juga di bidang non-yustisial dengan cara memberi pertimbangan, nasihat, dan pendapat hukum kepada penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah.

When ?

Proses pelaksanaan penyatuatapan di lingkungan Peradilan Agama, tidak semulus badan-badan peradilan lainnya. Meskipun pada akhirnya, sejak tanggal 30 Juni 2004, Menteri Agama telah menyerahkan organisasi, administrasi, financial lingkungan Peradilan Agama kepada Ketua Mahkamah Agung. Namun, sebelum disatu atapkan, yakni tepatnya sejak lahirnya UU No. 35 Tahun1999 terjadi polemik : pro dan kontra di kalangan masyarakat muslim. Pro dan kontra itu berawal, ketika UU No. 35 Tahun 1999 dalam salah satu pasalnya, menyebutkan bahwa "pengalihan peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara, dilakukan dalam jangka 5 tahun. Sedangkan untuk Peradilan Agama, batas peralihannya tidak ditentukan. Tidak ditentukan batas waktu pengalihan untuk peradilan agama tersebut, menimbulkan penafsiran yang berbeda, bisa diartikan pengalihan dilakukan secepatnya, atau juga bisa selama-lamanya, dalam pengertian tidak jadi satuatapkan

How ?

Diawali dengan Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan ketentuan Pasal 24 dan TAPS MPR/X/Tahun 1998 yang menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan eksekutif, kebijakan satu atap kemudian diatur dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman bahwa organisatoris, administratif, dan finansial peradilan ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan dan Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi, dan keuangan tersendiri. Ketentuan tersebut diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Ketentuan - ketentuan pokok kekuasan kehakiman Pasal 11 ayat 1, secara organisatoris, administratif, dan fungsional, berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung

Where ?

Pernyataan Jimly tersebut merupakan upaya kompromi atas pro dan kontra yang terjadi dimasyarakat, berkenaan dengan akan disatuatapkannya Peradilan Agama. akan tetapi, pro dan kontra masih terus terjadi sampai pada tahun 2003, yakni tepatnya ketika mulai dipersiapkan pembahasan satu atap dengan menyusun 5 rancangan UU untuk direvisi 5 UU, yakni tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung, Peradilan Umum, Peradilan TUN, dan Kejaksaan, yang disiapkan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan sebagai konsekuensi dari upaya reformasi di bidang hukum dan lembaga peradilan secara menyeluruh14. Mengingat di kalangan masyarakat muslim masih terjadi polemik; pro dan kontra, maka RUU sebagai pengganti UU No. 7 Tahun 1989 tentang PA tidak termasuk pada paket RUU yang akan dibahas di DPR. Selain itu, pemerintah dalam hal ini Departemen Hukum & Perundang-undangan menganggap bahwa RUUPA akan disiapkan sendiri oleh Depag. Akan tetapi, ternyata, Depag sendiri tidak menyiapkannya, mengingat Depag, sesuai dengan sikap MUI, belum siap menyerahkan PA ke MA. Termasuk juga dukungan dari Ismail Sunny dan Busthanul Arifin.

referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun