Hari ini, 16 Maret 2010, sungguh istimewa buat saya. Tepat pada Hari Raya Nyepi, saya berulang tahun ke-21. Kata orang, usia 21 bagi seorang pemuda itu bagaikan pintu gerbang menuju kedewasaan dan kematangan pribadi. Sejak usia inilah seorang pemuda memperoleh legitimasi untuk, misalnya, mengonsumsi alkohol dan masuk ke tempat hiburan malam--walaupun, saya yakin, banyak orang Indonesia yang sudah melakukannya tanpa harus menunggu usia 21. Ngomong-ngomong soal ulang tahun, saya teringat akan satu kutipan terkenal dari sang eyang yang bijaksana, Sokrates: ό δε ανεξεταστος βιος ου βιωτος ανθρωπω (ho de anexetastos bios ou biōtos anthrōpōi) The unexamined life is not worth living. Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak dijalani. Dan, memang, hari ulang tahun adalah salah satu momen yang tepat untuk merenungkan kembali perjalanan hidup seseorang selama satu tahun terakhir. Dengan cara merenungkan faktisitas ini, meminjam bahasa Heidegger, seseorang dapat menjadi lebih otentik setelah menyatukannya dengan kondisi masa kini dan kematian yang menanti di masa depan. Otentisitaslah yang menjadikan seorang manusia hidup dalam keberlimpahan makna, bukan dalam absurditas. Situasi bagaimanakah yang memungkinkan seseorang merenungkan faktisitasnya? Tentu saja keheningan. Seseorang membutuhkan jeda (pause) dalam mana ia memberikan istirahat sejenak di tengah-tengah rutinitas yang seakan berputar tanpa henti. Kita butuh keheningan total (profound silence, silentium magnum) agar kita bisa masuk ke dalam relung batinnya. Nah, di sinilah Hari Raya Nyepi sungguh memberi kesan tersendiri untuk saya. Meskipun saya bukan seorang Hindu, saya melihat ada pesan universal yang dapat diamini oleh umat agama mana pun.Keheningan, Sunyi, Shunya; itulah yang saya kira menjadi pesan universal tersebut. Catur Brata (amati geni, amati karya, amati lelungan, amati lelanguan) memungkinkan seseorang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal jasmani kepada perkara rohani. Secara khusus, Katolisitas yang saya anut juga mengajarkan pentingnya keheningan. Hening bukan berarti menutup diri; melainkan justru membuka lebar-lebar telinga dan hati untuk menerima bisikan Allah sendiri. Di biara-biara dan pertapaan-pertapaan, para biarawan/wati Katolik memberikan porsi waktu yang besar dalam sehari untuk berkontemplasi dalam keheningan. Dan, saya kira, inilah yang semakin dibutuhkan banyak orang dewasa ini: sepotong keheningan di tengah jenuhnya rutinitas kerja. Selamat berhening.[] Om Swastiastu. God bless you.