Sudah lebih dari dua dasawarsa bangsa Indonesia memasuki era reformasi, yaitu munculnya gerakan perubahan dan perbaikan secara drastis tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum, salah satunya tuntutan reformasi tentang pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dalammewujudkan penyelenggaraan Negara yang bersih, mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab, perlu diletakkan asas-asas penyelenggaraan negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya. Produk legislasi pertama kali era reformasi menghasilkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.Â
Dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) terdapat tiga pilar utama yang perlu dibangun, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Transparansi berarti bentuk keterbukaan pemerintah dan organ-organnya kepada masyarakat/publik, sehingga masyarakat dapat memantau proses/arus kerja pemerintah. Akuntabilitas diartikan sebagai bentuk pertanggungjawaban seseorang atas hasil kerja/tugas dan kewajibannya. Sedangkan partisipasi di sini adalah partisipasi masyarakat/publik atau keikutsertaan masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengawasan.Â
Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, dan dengan berbagai tuntutan dari masyarakat, pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perjalanan pelaksanaan Undang-undang tersebut, telah dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Semua pihak telah maklum bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Â
-Kondisi Penegakan Hukum di IndonesiaÂ
Bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia belum dapat dirasakan keefektifannya dan belum dilaksanakan secara optimal, sehingga perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan, tentunya karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Berhubung lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum sepenuhnya berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka dibentuklah lembaga Ad Hoc yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Lembaga tersebut bersifat independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Dibandingkan dengan aparat penegak hukum yang lain (Kepolisian dan Kejaksaan), Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas yang lebih luas dalam penindakan korupsi, yaitu melakukan pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi; melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; serta melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.Â
Sebagai aparat penegak hukum, dalam penanganan tindak pidana korupsi, tugas dan tanggung jawab Kepolisian dan Kejaksaan adalah melakukan pemeriksaan dan penyidikan tindak pidana korupsi dengan berkoordinasi bersama Lembaga-Lembaga terkait. Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan dituntut untuk berperan menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penyelidikan dan penyidikan merupakan wewenang dari Kepolisian Republik Indonesia (Pasal 6). Sedangkan tugas Kejaksaan dalam proses penyidikan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.Â
Sebagaimana diuraikan diatas bahwa tugas dan tanggung jawab KPK lebih luas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dibandingkan dengan aparat penegak hukum lainnya, maka tentunya sepak terjang KPK akan lebih dominan. Dominannya peran KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia menjadikan KPK mendapat kepercayaan lebih besar dari masyarakat daripada dua lembaga negara lainnya. Berdasarkan survey dari LSI Tahun 2019, bahwa KPK menjadi Lembaga yang paling dipercayai publik dengan tingkat kepercayaan 84%, disusul kemudian Presiden (79%), Kepolisian (72%), Pengadilan (71%), dan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR (61%). Hal ini tidak terlepas dari kinerja KPK sebagai lembaga independen yang dirasa mampu mempertahankan independensinya di tengah berbagai hempasan isu pelemahan dan kepentingan politik. Hal ini telah terbukti dengan adanya Revisi UU KPK dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.Â
KPK menemukan ada 26 poin yang berpotensi melemahkan KPK dalam UU KPK hasil revisi yang telah disahkan oleh DPR. Juru Bicara KPK Febri Diansyah ketika itu mengatakan, 26 poin tersebut dianggap berpotensi melemahkan KPK lantaran mengurangi sejumlah kewenangan yang dahulu dimiliki KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dua puluh enam poin ini dipandang sangat berisiko melemahkan atau bahkan bisa melumpuhkan kerja KPK. Karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini (Kompas.com).Â
Meningkatnya pamor KPK di mata masyarakat juga banyak ditunjang oleh pemberitaan mass media tentang makin masifnya operasi tangkap tangan (OTT). OTT yang dilakukan secara mendadak dan melibatkan aktor/tokoh penting di tanah air misalnya kepala daerah, menteri atau anggota legislatif, sehingga mampu menarik simpati dan perhatian masyarakat, terutama masyarakat yang peduli terhadap pemberantasan korupsi. Sepanjang tahun 2016 -- 2019 telah dilakukan 87 operasi tangkap tangan dengan tersangka awal sebanyak 327 orang. Selama empat tahun kegiatan OTT, kasus paling banyak terjadi pada tahun 2018, yakni sebanyak 30 kasus dengan 121 tersangka. OTT juga dapat menjadikan petunjuk untuk membongkar kasus-kasus lainnya yang terjadi, dan bukan hanya fokus pada perkara pokok.Â
Bentuk lain dari upaya pengendalian korupsi adalah kewajiban seluruh K/L/D untuk mengimplementasikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). SAKIP merupakan instrumen yang digunakan oleh instansi pemerintah dalam memenuhi kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi yang terdiri dari beberapa komponen yang merupakan suatu kesatuan yaitu perencanaan stratejik, perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, dan pelaporan kinerja.Kewajiban pelaporan kinerja (LAKIP) berpedoman pada Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 29 Tahun 2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. LAKIP merupakan media pertanggungjawaban dalam rangka mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah diharapkan dapat memberikan gambaran secara lengkap mengenai pertanggungjawaban atas pemanfaatan sumber daya yang dikelola beserta seluruh pegawai yang berada dalam struktur di bawahnya dalam rangka menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Namun demikian, media inipun juga belum dapat menghambat laju penambahan pelaku tindak pidana korupsi.Â
-Upaya yang dilakukan oleh PemerintahÂ
Dalam pemberantasan korupsi diperlukan kesamaan pemahaman mengenai tindak pidana korupsi itu sendiri, agar pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara tepat dan terarah. Agar dapat berjalan lebih efektif, maka diperlukan beberapa strategi yang harus dilakukan secara bersamaan. Terdapat tiga strategi pemberantasan korupsi yang dirilis oleh Anti Corruption Learning Center (ACLC) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu dengan melalui:
1. Â Â Â Edukasi dan Kampanye, yaitu strategi pembelajaran pendidikan antikorupsi dengan tujuan membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai dampak korupsi, mengajak masyarakat untuk terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi, serta membangun perilaku dan budaya antikorupsi. Tidak hanya bagi mahasiswa dan masyarakat umum, namun juga anak usia dini, taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Hal ini tentunya bertujuan agar generasi muda tidak akan mau melakukan korupsi.
2. Â Â Â Perbaikan sistem, artinya sistem yang baik bisa meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi, karena banyak sistem yang diterapkan di Indonesia memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Perbaikan sistem dimaksud misalnya:
a. Â Mendorong transparansi penyelenggara negara, seperti yang dilakukan KPK menerima pelaporan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) dan juga gratifikasi.
b. Â Memberikan rekomendasi kepada kementerian dan lembaga terkait untuk melakukan langkah-langkah perbaikan.
c. Â Memodernisasi pelayanan publik dengan online dan sistem pengawasan yang terintegrasi agar lebih transparan dan efektif.
Dengan sistem yang baik maka orang tidak mudah lagi melakukan korupsi.
3. Â Â Â Represif,yaitu upaya penindakan hukum untuk menyeret koruptor ke pengadilan. Hampir sebagian besar kasus korupsi terungkap berkat adanya pengaduan masyarakat. Pengaduan masyarakat merupakan salah satu sumber informasi yang sangat penting untuk diteruskan/ditindaklanjuti oleh KPK. Tahapan yang dilakukan adalah:
a. Â Â Penanganan laporan pengaduan masyarakat (KPK melakukan proses verifikasi dan penelaahan);
b. Â Â Penyelidikan;