Mohon tunggu...
Matrimony Lesmana
Matrimony Lesmana Mohon Tunggu... Ilmuwan - Tukang Sosiologi Budaya

dengan ikhlas dan senang hati menyerukan bahwa perbedaan sosial budaya sama sekali bukan alasan pemisahan masyarakat;

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Korelasi Seksualitas Golongan dan Rasa Cemburu dalam Gerakan Anti Pacaran

2 Mei 2020   08:30 Diperbarui: 6 Mei 2020   17:59 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(The Orator (ca. 1920) - Magnus Zeller, sumber: pinterest.com)

*catatan: menanggapi masukan dari Mas Nawir (lihat komentar), kolega Kompasiana @masnawir7439, tulisan ini telah mengalami perubahan dan koreksi dari tulisan 3 hari yang lalu. Perubahan yang mendasar berkenaan dengan rujukan pada satu kasus tertentu yang terjadi di masyarakat. Jika sebelumnya analisa menarik benang merah dari aksi beberapa ormas bernuansa keagamaan, termasuk aksi turunannya dari gerakan kelompok sosial dengan instrumen moral, maka kini ruang lingkup analisa diperkecil ke aksi turunan tersebut. Lebih jelasnya, tulisan ini berangkat dari analisa aksi dari gerakan Indonesia Tanpa Pacaran.

Mencermati pernyataan dalam wawancara BBC dengan pendiri Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran yang menjadi ramai di media sosial beberapa hari yang lalu, mengenai menikah di bawah umur bila merujuk pada UU No. 16/2019 (https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/122740/uu-no-16-tahun-2019).

Namun di sini akan dianalisa narasi gerakannya. Narasinya menunjukan kemungkinan yang berangkat dari kecemburuan (sosial). Maksudnya membandingkan yang dimiliki orang lain tapi tidak dimiliki oleh diri sendiri, membandingkan apa yang orang lain mampu tapi tidak mampu dilakukan oleh diri sendiri.

Perasaan cemburu sesungguhnya bukan keganjilan dalam diri manusia, rasa ini sudah dipelajari sejak lahir oleh setiap manusia. Dorongan utamanya adalah rasa nyaman, dan dalam pengertian freudian rasa ini bertumpu pada seksualitas.

Meninjau isu sosial yang berkenaan dengan seksualitas selalu menjadi perkara dengan sensitivitas tinggi. Apalagi bila perkara ini sudah bersinggungan dengan keagamaan. Perkaranya akan masuk ke dalam ranah yang memisahkan antara “suci - tidak suci”.

Adalah kenyataan, bahwa seksualitas sudah melekat pada fisik dan mental manusia sejak lahir.

Bersamanya berjalan fungsi sosial dari spesies manusia. Pacaran sendiri didasari dari ketertarikan kepada orang lain. Meski tidak selalu berujung dengan ‘jadian’, tapi tidak dapat dipungkiri, bahwa ketertarikan kepada orang lain kemudian mendorong usaha untuk memenuhi syarat menjadi manusia sukses, agar dikenal dan mengenal lebih banyak orang. Agar manusia berusaha berprestasi, lalu menjadi terpandang dalam masyarakatnya. Seluruhnya, sedikit banyak, ada urusannya dengan hasrat yang satu ini.

[...] bukan untuk dilepas begitu saja, agar mencari 'pemenuhan kebutuhan' dengan mengikuti insting sebebas-bebasnya. [...]

Dengan kata lain, seksualitas tidak terbatas sebagai hasrat pemenuhan fungsi reproduksi manusia, seperti yang dikhawatirkan lebih dini terjadi karena pacaran. Juga, memang di sini tidak didiskusikan fungsi reproduksi manusia, melainkan konsekuensi kejiwaan dari pengingkarannya sebagai fitrah manusia.

Tentu saja keberadaannya dalam diri manusia bukan untuk dilepas begitu saja, agar mencari 'pemenuhan kebutuhan' dengan mengikuti insting sebebas-bebasnya. Hanya saja, pada saat hasrat ini diingkari keberadaanya, ia dapat mendorong berkembangnya masalah sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun