Mohon tunggu...
Matrimony Lesmana
Matrimony Lesmana Mohon Tunggu... Ilmuwan - Tukang Sosiologi Budaya

dengan ikhlas dan senang hati menyerukan bahwa perbedaan sosial budaya sama sekali bukan alasan pemisahan masyarakat;

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bullying; (1) Benarkah Hanya Karena Iri Hati?

9 Desember 2019   09:00 Diperbarui: 9 Desember 2019   15:02 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: https://nasional.kompas.com/)

Akhir minggu lalu Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan tanggapan terhadap 'rapor merah' tes PISA Indonesia. Tanggapannya diuraikan ke dalam sepuluh poin. Dan pada poin ke enam beliau memberikan perhatian khusus terhadap fenomena bullying. Fenomena inilah topik yang akan dikemukakan kali ini.

Banyak yang mengira, bahwa bullying ini berdiri di atas perasaan iri hati, karena alasan kecemburuan sosial antar siswa di satu sekolah. Bisa jadi, tapi ternyata itu bukan satu-satunya faktor pendukung aksi ini.

Patut untuk diketahui bersama, bahwa bullying membuka konsekuensi gangguan kejiwaan selebar-lebarnya. Tidak hanya saat korban masih anak-anak, tapi juga di kemudian hari. Bullying pada masa kecil tercatat sering masih meninggalkan bekas hingga korban telah berumur dewasa.

Memang topik ini seringnya didiskusikan di ranah psikologi. Hanya saja fenomena ini ternyata tidak lepas dari sisi kehidupan bermasyarakat. Karenanya sudut pandang sosiologis menjadi esensial. Terutama untuk mengenali latarbelakang sosial serta faktor pendukungnya dan apa motivasi di balik aksi ini.

Dalam lingkungan sekolah bullying akan lebih sering terjadi dalam hubungan antar siswa dan antar tingkatan kelas. Hal ini disuburkan oleh dinamisnya status senioritas di antara para siswa. Maksudnya, status sebagai rujukan kepada siapa rasa segan ditujukan dan ditunjukan selalu berpindah tangan seiring dengan kenaikan kelas dan kelulusan sekolah. Tentu saja tidak tertutup kemungkinan untuk terjadi antar guru dan siswa, namun tulisan ini ingin lebih mengkerucut pada titik-berat di hubungan sosial antar siswa.

Di sekolah dalam prakteknya, bullying sangat jarang dijalankan oleh satu orang pelaku, walaupun sangat mungkin aksi ini diprakarsai oleh satu orang. Aksi ini cenderung dijalankan berkelompok. Menariknya pula aksi ini dijalankan di dalam kelompoknya sendiri di dalam satu lingkungan sekolah.

Kalau dilihat dari aktor yang terlibat dalam aksi ini, terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu 'mereka yang menjalankan aksi' dan 'mereka yang tidak menjalankan aksi', dan bukan 'yang membully' dan 'yang dibully'. Mengapa dibagi demikian? Penjelasannya akan diuraikan lebih jauh pada akhir tulisan ini.

Dari kenyataan bahwa aksi ini adalah aksi kelompok, maka dapat dipastikan ada usaha memilah-milah siswa lain untuk dipengaruhi dengan paham dan pikiran tertentu sebelum aksi dijalankan. Siswa-siswa tersaring dan lalu terpapar paham atau pikiran di atas selalu mereka dengan kemungkinan paling besar untuk sepakat membully, mereka dengan hasrat menikmati status 'disegani'.

Peristiwa ini sering dijelaskan dengan prinsip inclusion-exclusion dan bermuara pada ketidaksetaraan sosial. Peristiwa ini sebenarnya tidak perlu diresahkan, bila terbentuk secara alami. Tapi bullying memberikan nuansa 'rekayasa' atau 'buatan' terhadap ketidaksetaraan manapun. Pendek kata, pihak pertama 'mengatur' langsung agar pihak kedua dipandang rendah dengan cara meruntuhkan moralnya di muka umum.

Di dalam ilmu kemasyarakatan ketidaksetaraan sosial erat hubungannya dengan status dan kekuasaan. Mengkomunikasikan ketidaksetaraan bisa berarti menegaskan keinginan meraih status atau kekuasaan.

Bagi generasi yang bersekolah menengah di masa 80an atau 90an, bullying dulu pernah dikenal dengan istilah 'gencet'. Bukan dalam makna menghimpit atau menindih, tapi menindas. Dan memang bullying adalah mengkomunikasikan status dan kekuasaan dengan penindasan.

Dalam bidang ilmu psikologi tenyata bullying juga dimaknai demikian, seperti dijabarkan oleh Prof. Dr. Mechthild Schaefer, dosen psikologi dan pakar bullying di sekolah dari Ludwig-Maximilians Universitaet Muenchen.

"Di sini ternyata bukan pelaku dan korban punya peranan dalam peraihan status dan kekuasaan, yang lebih menentukan adalah siswa-siswa lain di dalam lingkungan itu, karena merekalah yang memberi pengakuan atas status dan kekuasaan tersebut"

Dalam wawancaranya dengan majalah bulanan reportpsychologie versi online ia menguraikan, bahwa pelaku bertujuan meraih status dan kekuasaan dengan memilih satu orang dari lingkungan mereka untuk direndahkan (moralnya) dan diperlakukan sebagai korban. Di sini ternyata bukan pelaku dan korban punya peranan dalam peraihan status dan kekuasaan, yang lebih menentukan adalah siswa-siswa lain di dalam lingkungan itu, karena merekalah yang memberi pengakuan atas status dan kekuasaan tersebut (lihat: www.report-psychologie.de).

Uraian ini menjelaskan lebih jauh pengelompokan yang disebut sebelumnya. Selain itu pengelompokan dengan peng-code-an ini juga dimaksudkan untuk mengenali akar masalah agar menjadi panduan pemecahan masalah.

Maka, dasar pembagian ke dalam kelompok 'yang menjalankan aksi' dan 'yang tidak menjalankan aksi' adalah menegaskan, bahwa status 'disegani' tersebut mendapat pengakuan dari keberadaan siswa-siswa yang tidak menjalankan aksi -- oleh mereka yang pasif.

Inilah hal yang sangat penting untuk terus mendapat perhatian. Bahwa bukan kadar penderitaan korban yang mendukung keberhasilan bullying, tapi mendiamkan bullying untuk terus berlangsung. Selain korban yang pasif tidak mempertahankan diri, para siswa lain cukup menonton dan tidak melakukan apa-apa terhadap pembully agar dapat meraih pengakuan status 'disegani'.

Di lingkungan sekolah, terutama, aksi ini harus cepat ditangani. Selain karena sangat destruktif, untuk aksi ini terlalu banyak yang dirugikan. Bayangkan, sekelompok siswa sampai rela mengorbankan kejiwaan siswa lain sekaligus masa depannya, demi status 'disegani'. Sebuah status yang hanya dinikmati penuh di tahun ajaran terakhir sebelum akhirnya lulus dan pindah sekolah.

Lalu siapa yang paling diincar oleh pembully? Agar tidak terlalu panjang tulisan kali ini, pembahasannya akan diuraikan di tulisan berikutnya dengan topik yang sama - bullying.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun