Mohon tunggu...
Matrimony Lesmana
Matrimony Lesmana Mohon Tunggu... Ilmuwan - Tukang Sosiologi Budaya

dengan ikhlas dan senang hati menyerukan bahwa perbedaan sosial budaya sama sekali bukan alasan pemisahan masyarakat;

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

SDM Indonesia Ungguli Jerman? PISA Tes Bilang Mungkin

5 Desember 2019   06:00 Diperbarui: 5 Desember 2019   23:59 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi siswa yang belajar di luar kelas. (sumber foto: KOMPAS.com/Farida Farhan)

Hasil test PISA, Programme for International Student Assessment, sudah dua hari ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat dan dunia pendidikan Jerman. 

Test tiga tahunan ini mengambil sampel dari kemampuan membaca dan memamahi teks, mengerjakan soal matematika dan pengetahuan alam di tahun 2018.

Hasilnya menunjukan penurunan dibanding test terakhir di tahun 2015 dan mengindikasikan tendensi terus menurun. Dari tes ini siswa-siswi di Jerman berusia kurang-lebih 15 tahun menduduki posisi ke 20 di bawah siswa-siswi dari negara-negara seperti Finlandia, Inggris, Swedia dan Kanada.

Menarik untuk dicermati di sini adalah penurunan pada kemampuan siswa-siswi di Jerman dalam memahami isi dan makna sebuah teks.

Ada faktor lain yang berpengaruh pada penurunan ini. Koran setempat, Frankfurter Allgemeine Zeitung versi online melansir, bahwa tawaran kemudahan dari digitalisasi juga disinyalir mampu mengubah kebiasaan membaca lebih untuk mencari informasi, daripada memahami isi atau makna sebuah bahasa tulisan.

Pimpinan PISA Jerman, Prof. Dr. Kristina Reiss di koran Zeit versi online menyebutkan, bahwa penurunan tersebut berkemungkinan dipengaruhi oleh naiknya persentase siswa-siswi anak kaum pendatang dan menurunnya penggunaan bahasa Jerman di dalam keluarga mereka.

Penting untuk diketahui, bahwa pendistribusian pengetahuan juga banyak ditentukan oleh kemampuan memahami isi dan makna bahasa tulisan, tentu juga bahasa lisan.

"Tawaran kemudahan dari digitalisasi juga disinyalir mampu mengubah kebiasaan membaca lebih untuk mencari informasi, daripada memahami isi atau makna sebuah bahasa tulisan."

(Sumber: oecd.org)
(Sumber: oecd.org)

Tapi menurutnya pula, hasil ini belum dapat dinilai negatif. Mengingat dari keseluruhan hasil test PISA siswa-siswi di Jerman tetap berada di atas rata-rata (lihat: oecd.org 04-12-2019).

Adalah satu kenyataan, bahwa di satu sisi masyarakat Jerman semakin majemuk, namun di sisi lain kemungkinan ada yang tidak aktual dalam sistem pendidikannya.

Lalu apa hubungannya dengan pendapat, bahwa sistem pendidikan di Indonesia akan lebih unggul? Memang Indonesia dalam test ini kira-kira masih menduduki posisi 74, namun juga bukan itu perhatian utama di sini. Masyarakat Indonesia punya modal besar untuk setara dengan negara-negara di Level 3.

Modal itu adalah kemampuan hidup dan berkerja sama dengan perbedaan sosial budaya. Singkatnya, keragaman bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia.

Terlebih lagi keragaman ini sudah sejak berabad-abad berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan satu bahasa penghubung. Bahasa yang dulu berkembang sebagai alat komunikasi antar pulau di Nusantara dan kini disebut sebagai bahasa Indonesia.

[...]orang Indonesia terlahir dan dibentuk oleh budayanya sebagai Master of Communication.[...]

Seorang kollega yang pernah mengajarkan bahasa Indonesia di jurusan Austronesistik Unversitt Hamburg pernah mengatakan, orang Indonesia terlahir dan dibentuk oleh budayanya sebagai Master of Communication. 

Apalagi anggota masyarakatnya biasa saling mencari kesamaan dalam berbahasa, dengan mengenyampingkan perbedaan dialek dan bahasa daerah yang mempengaruhi nuansa bahasa dan logat penuturnya.

Jadi bisa ditarik kesimpulan, bahwa bahasa Indonesia lebih memberikan peluang bagi setiap individu untuk merasa diterima sebagai bagian dari masyarakat penuturnya. 

Hal ini tercermin pada pemahaman, bahwa kadar ke-Indonesia-an seseorang tidak ditentukan oleh logat berbeda karena pengaruh dialek dan bahasa daerah.

Dengan itu pula polarisasi sosial tidak cuma terpaku untuk terus mencari rasa aman dari perasaan 'diasingkan'. Seperti halnya ke balik tembok keluarga, di mana ada kemungkinan memakai bahasa bernuansa sendiri, berbeda dengan masyarakat luas.

Jika perasaan 'diterima' sudah berkembang dan perasaan rendah diri terus menipis, maka orang akan lebih percaya diri menjiwai penggunaan bahasa apapun di luar bahasa daerahnya. Hasilnya orang akan lebih memahami isi dan makna bahasa lisan dan tulisan untuk mendulang informasi dan pengetahuan.

Tidak hanya sampai disitu, orang juga akan bebas berpikir dan tidak hanya memikirkan agar nada ucapannya terdengar tidak asing di telinga pendengarnya.

Dalam hal kemajemukan, keragaman dan pluralisme adalah bangsa Indonesia sudah berada di depan. 

Modal besar ini menajamkan kemampuan masyarakatnya untuk terus mengikuti kemajuan zaman. Tidak mudah untuk untuk meraih modal ini, dibutuhkan waktu lintas banyak generasi dan membumikannya menjadi budaya lokal.

Sementara itu, dunia ini semakin terbuka bagi lalu lintas manusia bersama barang dan jasa. Keterlambatan untuk menyikapi perubahan zaman dengan perbedaan-perbedaan sosial budayanya akan menyingkirkan individu bersama masyarakatnya dari arena utama. 

Sebaliknya kemampuan berkarya dalam dan dengan perbedaan pada saatnya nanti akan menentukan kemajuan seseorang dan kemudian masyarakatnya.

Apakah ini indikasi, bahwa SDM bangsa ini akan segera mendunia, setara dengan SDM di Jerman? Atau bahkan mengunggulinya? Siapa tahu? Paling tidak bangsa Indonesia punya modal besar untuk menuju ke sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun