Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Proyek Sepuluh Metropolitan: Sebuah Ambisi yang Perlu Evaluasi

13 September 2020   18:49 Diperbarui: 13 September 2020   19:50 1726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Mathew I.L. Sijabat (Departemen Kajian dan Penelitian HIMIESPA FEB UGM) & Reinaldy Sutanto (Divisi Kajian KANOPI FEB UI)

Pada masa Revolusi Industri pertama, tak lebih dari 7,3% populasi dunia hidup di daerah urban (OWID, 2016). Proses industrialisasi yang pesat lantas meningkatkan permintaan akan tenaga kerja serta perumahan, yang kemudian membentuk klaster-klaster urban yang kita kenal sebagai kawasan perkotaan. Saat ini, setidaknya 55% dari penduduk dunia tinggal di daerah perkotaan, sebuah angka yang diproyeksikan untuk meningkat ke 68% pada tahun 2050 (UN DESA, 2016). Indonesia pun tak luput dari fenomena ini. Walau sebaran populasi rural-urban di Indonesia masih seimbang pada tahun 2010, BPS (2016) memproyeksikan tren peningkatan pangsa populasi daerah urban yang konsisten untuk beberapa tahun mendatang.

Grafik 1: Komposisi Populasi Rural-Urban di Indonesia, 2010---2035 ⏐ Sumber: BPS (2016)
Grafik 1: Komposisi Populasi Rural-Urban di Indonesia, 2010---2035 ⏐ Sumber: BPS (2016)
Mengetahui ini, tidak dapat dimungkiri bahwa urbanisasi akan selalu beriringan dengan perkembangan zaman. Kemajuan teknologi dan pertumbuhan populasi memang meningkatkan urgensi bagi masyarakat untuk bermigrasi ke kota; baik untuk kesempatan pekerjaan yang lebih baik, ketersediaan sarana dan fasilitas sosial yang berkualitas, maupun iming-iming standar kehidupan yang lebih tinggi (LIPI, 2019). Lantas, tak heran jika pemerintah menggunakan urbanisasi sebagai salah satu strategi untuk mencapai rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan 6%, sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Apa saja rincian dari rencana tersebut? 

Pengembangan Sepuluh Wilayah Metropolitan Baru dalam RPJMN 2020-2024

Pada awal Juli 2020, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kembali mensinyalir rencana pemerintah dalam mengembangkan sepuluh wilayah metropolitan selain ibu kota negara baru. Sebagai bagian dari RPJMN 2020-2024, pemerintah mengklaim bahwa rencana ini merupakan sarana untuk merealisasikan target pertumbuhan ekonomi, serta upaya untuk menyamaratakan pembangunan di luar Pulau Jawa. Memang, dapat dimengerti jika pemerintah ingin bergeser dari paradigma pembangunan Jawa-sentris, mempertimbangkan bahwa Pulau Jawa berkontribusi 59% terhadap PDB serta 54% terhadap populasi nasional (BPS, 2019). Tak sekadar proyek pembangunan semata, sepuluh wilayah metropolitan ini juga akan dikembangkan dengan tema yang didasarkan pada ciri khas masing-masing wilayah, sebagai berikut:

Tabel 1: Rencana Pengembangan sepuluh Wilayah Metropolitan ⏐ Sumber: Bappenas (2020), Katadata (2020)
Tabel 1: Rencana Pengembangan sepuluh Wilayah Metropolitan ⏐ Sumber: Bappenas (2020), Katadata (2020)
Tak lama setelah pembeberan tema, Kepala BPIW Hadi Sucahyono menyampaikan bahwa rencana tersebut akan dipercepat sebagai bagian dari rangkaian kebijakan pemulihan ekonomi pascapandemi. Lantas, BPIW pun menetapkan awal Agustus sebagai tenggat waktu penyelesaian rancangan pengembangan Kedungsepur sebagai kota pertama. Meski pemerintah telah merencanakan sepuluh wilayah, Matrik Pembangunan RPJMN IV 2020---2024 hanya menyediakan rincian anggaran untuk empat kota: Palembang, Denpasar, Banjarmasin, dan Makassar. Proyek yang membutuhkan Rp222,92 Triliun ini akan dibiayai menggunakan APBN, APBD, KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha), serta pendanaan swasta. Dalam dokumen tersebut, penyebutan eksplisit mengenai pengembangan enam wilayah lainnya hanya terdapat di proyek Sistem Angkutan Umum Massal Perkotaan yang membutuhkan Rp118.8 Triliun. Sebenarnya, kedua proyek tersebut merupakan bagian kecil dari 41 Proyek Prioritas Strategis yang secara total membutuhkan anggaran Rp1.185 Triliun. 

Grafik 2: Kesenjangan Investasi, Kapasitas Pinjaman Daerah, dan Pendapatan Asli Daerah di Berbagai Kota di Indonesia (Dalam Juta $, tahun dasar 2014) ⏐ Sumber: Joshi dkk. dalam World Bank (2019)
Grafik 2: Kesenjangan Investasi, Kapasitas Pinjaman Daerah, dan Pendapatan Asli Daerah di Berbagai Kota di Indonesia (Dalam Juta $, tahun dasar 2014) ⏐ Sumber: Joshi dkk. dalam World Bank (2019)
Melihat sumber pendanaan yang beragam serta ukuran anggaran yang relatif besar, proyek ini memberikan harapan akan pengembangan wilayah metropolitan yang komprehensif. Menurut penemuan Joshi dkk. dalam World Bank (2019), Pendapatan Asli Daerah banyak Pemkot di Indonesia masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan investasi infrastruktur, bahkan jika disertai Pinjaman Daerah yang sesuai dengan kapasitas maksimum. Untungnya, berdasarkan data ini kucuran dana untuk kawasan Palembang, Denpasar, Banjarmasin, dan Makassar ($3.7 Miliar per kota) nampaknya sudah mumpuni untuk menutup kesenjangan investasi yang berkisar dalam jangkauan $600---$800 Juta. Selain itu, pemerintah juga telah menerima bantuan pembangunan dari World Bank, dalam bentuk pinjaman sebesar $49,6 juta.

Mengapa Perekonomian Daerah Urban Lebih Produktif?

Wilayah perkotaan seringkali digambarkan sebagai episentrum perekonomian yang berproduktivitas tinggi. Mengapa ini dapat terjadi? Jawabannya adalah economies of agglomeration. Oberhaus (2012) mendefinisikan agglomeration sebagai sekumpulan perusahaan dan perumahan, yang terletak dalam satu wilayah dengan konsentrasi spasial yang tinggi. Wilayah ini memiliki dua karakteristik: populasi yang padat dan infrastruktur buatan yang berfungsi untuk menyokong kegiatan-kegiatan ekonomi. Menurut O'Sullivan (2007), economies of agglomeration merupakan manfaat-manfaat yang diterima oleh perusahaan-perusahaan tersebut karena mereka terletak dekat satu sama lain secara spasial, atau dengan kata lain teraglomerasi. Kemudian, Quigley (2017) menjelaskan bahwa karakteristik tersebut merupakan faktor krusial di balik perbedaan produktivitas daerah urban dan rural, serta penyebab eksternalitas-eksternalitas positif yang dinikmati oleh para perusahaan di daerah urban. Berdasarkan O'Sullivan (2007) dan Quigley (2017), eksternalitas positif tersebut merupakan:

  1. Input Sharing: Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam satu industri serta menggunakan faktor produksi yang sama dapat mengurangi biaya transportasi karena jarak yang lebih dekat dengan produsen hulu. Dengan ini, perusahaan dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan spesialisasi.

  2. Labor Market Pooling: Daerah urban memberikan akses pasar tenaga kerja yang besar bagi para perusahaan, serta variasi dan jumlah profesi yang lebih banyak bagi para pekerja. Alhasil, proses pencarian dan pencocokkan pekerja menjadi lebih optimal.

  3. Knowledge Spillovers: Kepadatan daerah urban meningkatkan frekuensi interaksi antar individu maupun institusi, yang kemudian memfasilitasi pertukaran informasi yang lebih cepat. Karena itu perusahaan-perusahaan dapat belajar dari satu sama lain dengan mudah, dan kemudian terdorong untuk berinovasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun