Pandemi Coronavirus disease (Covid-19) telah mengakibatkan shock pada ekonomi nasional. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan l-2020 yang tumbuh sebesar 2,97 persen year-on-year (y-o-y) lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada triwulan I-2019 yang sebesar 5,07 persen (BPS, 2020a). Di samping itu, ekonomi nasional pada triwulan II-2020 terkontraksi sebesar 5,32 persen y-o-y (BPS, 2020b). Shock ini diakibatkan oleh beberapa sektor ekonomi yang terdampak, di antara lain sektor manufaktur, perdagangan, transportasi, akomodasi, pertanian, pertambangan, dan konstruksi, sehingga menghentikan sebagian besar aktivitas ekonomi (Kementerian Keuangan, 2020a). Dalam merespons kondisi ini, pemerintah membuat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk mengurangi dampak Covid-19 terhadap perekonomian (Kementerian Keuangan, 2020c).
Program PEN dirancang sebagai stimulus permintaan dan dunia usaha yang meliputi UMKM, BUMN, dan korporasi. Kebijakan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 pada 9 Mei lalu. Tujuan PEN dimuat dalam Pasal 2 dari kebijakan tersebut yang menyatakan bahwa program ini ditujukan untuk "melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya."
Selain itu, Pasal 4 memuat sumber dana anggaran dalam pelaksanaan PEN, yaitu dari Penyertaan Modal Negara (PMN), penempatan dana, investasi pemerintah, dan penjaminan. Namun, Pasal 5 menjelaskan bahwa pemerintah juga dapat melakukan kebijakan melalui belanja negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada awalnya PEN dianggarkan sebesar Rp 641,17 triliun dan dialokasikan kepada 10 instrumen kebijakan. Dukungan konsumsi yang terdiri dari Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, dan bantuan sosial lainnya memiliki alokasi yang paling besar di antara semua instrumen kebijakan.
Data dan Realisasi Anggaran: Tantangan Pemulihan Ekonomi NasionalÂ
PEN menjadi salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian nasional dengan memberikan bantuan kepada masyarakat yang terdampak secara ekonomi dan kesehatan selama pandemi. Namun, dalam pelaksanaannya, PEN dihadapkan dengan berbagai tantangan. Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa saat ini yang perlu dipikirkan adalah bagaimana skema PEN ini dapat dieksekusi dengan cepat sehingga dapat memberikan manfaat nyata bagi para pelaku usaha terutama industri padat karya. PEN harus dijalankan dengan konsep berbagi beban secara proporsional dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian agar tercipta program PEN yang transparan, akuntabel, dan mencegah risiko antar pemangku kepentingan (Sekretariat Presiden, 2020).
Tantangan tersebut harus dijadikan acuan dalam melaksanakan program PEN. Namun, realisasi program PEN terkendala oleh data dan administrasi sehingga menghambat penyaluran dana yang telah dianggarkan. Permasalahan data dikarenakan adanya tumpang tindih dalam pendataan, mulai dari perbedaan data antara pusat dan daerah hingga institusi, serta tidak adanya pembaruan data secara berkala. Data yang rancu ini menyebabkan tidak meratanya penerima bantuan.
Menteri Sosial, Juliari Batubara, mengakui bahwa Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menjadi tumpuan penyaluran bantuan sosial belum diperbarui sejak 2015 (Kompas, 2020). Oleh karena itu, banyak masyarakat yang seharusnya menjadi penerima bantuan tetapi belum dapat merasakan bantuan tersebut hanya karena data yang belum diperbarui. Hal tersebut menimbulkan kebingungan, apakah bantuan sosial telah tersalurkan secara tepat sasaran atau tidak. Masalah tersebut menyebabkan banyak daerah masih belum berani menyalurkan bantuan sosial. Salah satunya adalah yang dirasakan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak. Dalam wawancara bersama CNBC Indonesia pada 13 Agustus 2020, Emil mengatakan bahwa data Nomor Induk Kependudukan dari data penerima bantuan sosial milik pemerintah pusat ternyata tidak sesuai dengan kenyataan penerima di lapangan.
Sejak ditetapkan melalui PP No. 23 Tahun 2020 pada 9 Mei 2020, hingga 19 Agustus 2020, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mencatat realisasi program pemulihan ekonomi nasional mencapai Rp 174,79 triliun atau masih sekitar 25,1 persen dari Rp 695,2 triliun.
Peluang Memperkuat Perekonomian Nasional di Tengah Pandemi