Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Industri 4.0 bagi Pertumbuhan: Ancaman atau Peluang?

26 Juli 2019   17:15 Diperbarui: 26 Juli 2019   17:24 1284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh: Steering Committee FSDE 2019

Di tahun 2019 ini, istilah industry 4.0 sudah sangat lazim terdengar. Beberapa sumber memiliki interpretasi yang sedikit berbeda mengenai era yang tengah kita jalani saat ini serta pengaruhnya terhadap perekonomian dan kehidupan masyarakat secara umum. Lasi (2014) merangkum fenomena revolusi industri 4.0 sebagai perubahan sistem manufaktur yang utamanya berbasis teknologi informasi. Perubahan ini didorong oleh meningkatnya mekanisasi dan automasi serta meluasnya digitalisasi dan networking. Menurut Lasi, perubahan yang terjadi di era 4.0 ini bukan hanya sekadar kemajuan teknologi saja, namun akan tampak pula pada pergeseran di segi organisasional. Industri-industri---bahkan yang tidak berlabel modern---akan didukung mengubah orientasinya dari produksi menjadi jasa sebagai jawaban dari beragam usaha baru yang muncul berkat perubahan sistem industri di era ini.

Dalam era industry 4.0; penggunaan sensor, mesin, dan sistem teknologi informasi yang terhubung dengan big data akan menguasasi proses industri. Hal tersebut tentunya akan  memudahkan koneksi dari satu industri ke industri lainnya, sehingga efisiensi produksi juga dapat ditingkatkan. Efisiensi dapat tercapai lewat analytics (analisis data dengan kompurter)  yang akan membantu mengatasi masalah fleksibilitas industri dalam menghasilkan produk dengan kualitas yang lebih tinggi dengan biaya yang relatif lebih rendah (Rmann, 2015).

Dalam studinya di tahun 2015 tersebut, Rmann memberikan contoh pengaruh dari revolusi industry 4.0 pada pertumbuhan insudtri manufaktur di Jerman. Kemajuan teknologi di era ini akan memberi keuntungan di empat area; produktivitas, pertumbuhan pendapatan, investasi, dan pekerjaan (employment). Peningkatan produktivitas akan bervariasi di tiap-tiap sektor manufaktur, dengan manufaktur untuk komponen industri memiliki pengingkatan cukup tinggi dengan kisaran 20 hingga 30 persen.

Pertumbuhan pendapatan dikalkulasi akan mencapai 1 persen dari PDB Jerman (30 milyar per tahun) dan investasi yang dibutuhkan sebesar 1 hingga 1.5 persen dari pendapatan manufaktur (250 milyar dalam sepuluh tahun ke depan). Pertumbuhan tersebut juga diekspektasikan akan menstimulasi kebutuhan atas tenaga kerja dalam sepuluh tahun ke depan hingga mencapai 6 persen peningkatan. Namun, di awal revolusi ini, tidak mengejutkan bahwa lapagan kerja untuk pekerja dengan skill rendah yang hanya melakukan tugas-tugas ringan dan repetitif diprediksi akan semakin berkurang karena meluasnya automasi. Di sisi lain, permintaan untuk tenaga kerja di sektor teknik mesin akan bertambah; begitu pula dengan pekerja-pekerja yang memiliki kompetensi dalam pengembangan software dan TI.

Namun, bagaimana pengaruh dari revolusi industri ini terhadap negara berkembang? Kemungkinan besar efeknya tidak akan sama dengan negara maju mengingat pola industri mereka yang terbilang cukup berbeda. Apakah prediksi positif seperti yang disebutkan pada contoh sebelumnya untuk Jerman juga dapat berlaku bagi negara berkembang seperti Indonesia?

Tampaknya negara-negara berkembang---terutama sebagian besar yang masih berada di level pendapatan menengah (middle income)---harus menghadapi tantangan yang lebih besar. Tantangan tersebut bahkan digambarkan oleh Glawe dan Wagner (2018) dengan mengusulkan sebuah istilah baru: Middle-Income Trap 2.0 (MIT 2.0). Istilah tersebut menjelaskan masalah pertumbuhan baru bagi negara-negara berkembang di tingkat pendapatan menengah pada era kemajuan teknologi pesat, atau industry 4.0.

Era ini akan menguntungkan ekonomi-ekonomi yang memiliki sumber daya manusia dengan kemampuan tinggi (skill-biased) sehingga negara-negara berkembangan yang cenderung memiliki "ketidacocokan antara teknologi dengan kemampuan" akan berada berada pada posisi yang terancam. Terlebih lagi, revolusi industri 4.0 juga diekspektasikan memiliki efek negatif terhadap strategi pertumbuhan utama kebanyakan negara berkembang, yaitu export-manufacturing growth.

Dalam studi yang sama, Glawe dan Wagner menekankan pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia (human capital development) dalam menghadapi tantangan baru bagi pertumbuhan di era 4.0. Dari pernyataan itu, mereka melakukan penilaian performa negara-negara berkembang dengan pendapatan menengah (middle-income countries---MIC) dalam "catching-up" dengan negara maju berdasarkan pencapaian pendidikan sekuder dan tersier, proporsi penduduk yang bekerja di sektor dengan kemampuan tinggi (high skill), serta IDI (ICT Development Index). Hasilnya, biarpun Indonesia menunjukan performa yang posistif di setiap aspek, namun nilai catching-up yang dihasilkan masih kalah jauh dengan negara-negara tetangga kita yaitu Malaysia, Filipina, dan Myanmar.

Industry 4.0 adalah era yang tidak terelakkan---tidak ada ekonomi yang bisa terbebas dari gelombang kemajuan teknologi besar-besaran ini. Hal yang perlu kita pertanyakan adalah apakah Indonesia siap untuk menghadapi disrupsi tersebut? Data menunjukan potensi besar Indonesia untuk ikut aktif menjadikan fenomena revolusi ini sebagai peluang untuk peningkatkan perekonomiannya: World Bank (2016) menyebutkan bahwa potensi negara berpendapatan menengah di seluruh dunia dalam melakukan automasi berada di kisaran 47 hingga 50 persen; sementara McKinsey (2018) menyatakan bahwa peningkatan produktivitas dari industry 4.0 di negara Asia Tenggara akan menghasilkan productivity gains senilai $216 hingga $627 milyar. Kini yang tersisa tinggalah upaya bersama dari sektor publik dan swata di Indonesia untuk memastikan seluruh potensi yang kita miliki dapat terjuwud secara maksimal, terutama dengan melakukan peningkatan sumber daya manusia agar peluang dari kemajuan teknologi dapat tertangkap dan risiko penurunan pertumbuhan akibat strategi yang telah usang dapat dimitigasi.

Referensi
Lasi, H., Fettke, P., Kemper, H. G., Feld, T., & Hoffmann, M. (2014). Industry 4.0. Business & information systems engineering, 6(4), 239-242.
McKinsey. (2018) Industry 4.0: Reinvigorating ASEAN manufacturing for the future. [https://www.mckinsey.com/business-functions/operations/our-insights/industry-4-0-reinvigorating-asean-manufacturing-for-the-future]
Glawe, Linda & Wagner, Helmut. (2018). The Middle-Income Trap 2.0: The Increasing Role of Human Capital in the Age of Automation and Implications for Developing Asia. SSRN Electronic Journal. 10.2139/ssrn.3263458.
Rmann, M., Lorenz, M., Gerbert, P., Waldner, M., Justus, J., Engel, P., & Harnisch, M. (2015). Industry 4.0: The future of productivity and growth in manufacturing industries. Boston Consulting Group, 9(1), 54-89.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun