Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Perang Dagang dan Dinamika Industri Manufaktur

12 Juli 2019   18:02 Diperbarui: 12 Juli 2019   18:08 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Steering Committee FSDE 2019

Defisit neraca perdagangan suatu negara terhadap negara lain akan bervariasi. Bisa jadi suatu negara defisit dengan satu negara, tetapi surplus dengan negara lain. Namun yang terjadi pada Amerika Serikat adalah defisit neraca perdagangan terhadap China menjadi yang terbesar di antara negara lain dan nilainya semakin besar sejak 1985. 

Sebagai contoh pada 2018 defisit neraca perdagangan Amerika Serikat terhadap China sebesar -US$419 Miliar atau 48 persen dari total defisit neraca perdagangan Amerika Serikat sebesar US$874 Miliar. Hal ini yang menjadi latar belakang perang tarif di antara kedua negara. Dimulai dengan Amerika Serikat dan diikuti dengan retaliasi dari China.

Perang dagang telah melalui berbagai proses, diawali dengan pengenaan tarif untuk impor besi (kecuali Argentina, Brazil, dan Korea Selatan) dan impor alumunium (kecuali Argentina dan Australia) sebesar 25 persen pada 23 April 2018. Dan dibalas oleh China pada 2 April 2018 dengan mengenakan tarif sebesar 15-25 persen untuk 128 produk (senilai US$3 miliar) yang diantaranya termasuk buah, wine, pipa baja, babi, dan alumunium daur ulang. Hingga saat ini Amerika Serikat telah menerapkan tarif sebesar 25 persen terhadap produk China senilai US$250 Miliar. Sebaliknya China telah menerapkan tarif sebesar 10-25 persen terhadap produk Amerika Serikat senilai US$110 Miliar (Wong & Koty, 2019).

Perang dagang membuat International Monetary Fund (IMF) kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0.2 persen menjadi 3.3 persen pada 2019.  Hal ini karena dengan meningkatnya proteksi di antara Amerika Serikat dan China maka volume perdagangan dunia akan turun (Lange, 2019). 

Dampak ini akan sangat signifikan terhadap negara dengan porsi perdagangan yang besar dalam Produk Domestik Bruto (PDB), seperti Singapura yang mencapai 326 persen dari PDB pada 2018. Sedangkan untuk Indonesia dan negara ASEAN lain perang dagang memberi dampak secara tidak langung. Dampak ini berupa berkurangnya ekspor bahan baku dan setengah jadi dari negara ASEAN yang dibutuhkan oleh industri manufaktur di China. Hal ini karena China adalah salah satu pusat jaringan produksi di Asia.

Penurunan aktivitas industri pengolahan di China ditunjukkan dengan data Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur yang sejak April 2018 menunjukkan trend penurunan. Pada Juni 2019 PMI manufaktur berada pada 49.4, turun dari bulan Mei 2019 sebesar 50.2. 

PMI menjelaskan trend dari sebuah sektor, nilai di atas 50 menunjukkan ekspansi dan dibawah 50 menunjukkan kontraksi. Bagi Indonesia penurunan aktivitas manufaktur di China memberi dampak negatif terhadap performa ekspor Indonesia, khususnya ekspor kelapa sawit dan batubara.

Di lain sisi pengenaan tarif atas produk dari China, membuat peritel di Amerika memilih mencari pemasok dari luar China. Implikasinya ekspor dari beberapa negara produsen substitusi justru naik. Beberapa negara yang paling mendapat manfaat dari perang dagang diantaranya adalah Vietnam, Taiwan, Bangladesh dan Korea Selatan. Impor dari keempat negara ini justru naik, pada 2018 impor dari Vietnam naik 36 persen, Taiwan 23 persen, Bangladesh 14 persen, dan Korea Selatan 12 persen. 

Vietnam menjadi penerima manfaat karena upah yang rendah dan dukungan pemerintah untuk industri (Smith, 2019). Foreign Direct Investment di Vietnam naik dari tahun ke tahun dan banyak perusahaan yang memindahkan basis produksinya dari China ke Vietnam sebagai langkah diversifikasi (Onishi, 2019). Dengan tenaga kerja yang murah Vietnam dan Bangladesh menerima manfaat melalui kenaikan produksi barang-barang konsumen seperti pakaian dan sepatu. Selain itu Korea Selatan dan Taiwan mendapat manfaat melalui kenaikan barang-barang elektronik.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia harus mampu bersaing dengan negara lain. Secara umum Investor melakukan penanaman modal di Indonesia karena tiga hal yaitu, Sumber Daya Alam, Pasar Domestik yang besar, dan Upah Tenaga Kerja. Namun untuk membangun industri yang berorientasi ekspor Indonesia harus melakukan perbaikan struktural. Hal ini meliputi revisi daftar negatif investasi dan revisi UU ketenagakerjaan (Basri, 2019). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun