Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Dilema Rupiah

14 Oktober 2018   17:52 Diperbarui: 14 Oktober 2018   17:54 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Steering Committee FSDE 2018

Rupiah kembali bergejolak. Pelemahan Rupiah terus terjadi bahkan mencapai lebih dari Rp 15.000. Keadaan ini mendesak Bank Indonesia untuk terus menaikkan suku bunga acuan. Kondisi Rupiah pun terbilang buruk apabila dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan bahkan Thailand yang relatif aman. Thailand yang merupakan katalisator dalam krisis keuangan Asia 1998 pun percaya diri dengan perekonomiannya karena memiliki surplus transaksi berjalan dan cadangan devisa yang besar. Tantangan apakah yang dihadapi Rupiah serta efektifkah kebijakan kenaikan suku bunga tersebut?.

Ketidakpastian 

Melemahnya nilai tukar Indonesia saat ini salah satunya disebabkan oleh ketidakpastian perekonomian global yang diperparah oleh perang dagang antara AS dan China. Kemorosotan nilai Rupiah pun diperparah dengan defisit pada neraca transaksi berjalan. Neraca transaksi berjalan Indonesia termasuk yang terburuk di Asia untuk kategori negara dengan rezim kurs terbuka. 

Defisit transaksi berjalan Indonesia tahun 2017 mencapai 1,7% dari PDB  yang jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand yang mengalami surplus transaksi berjalan. Ketergantungan Indonesia terhadap produk-produk impor pun memperparah kondisi ini. Ditambah lagi kebijakan proteksionisme AS yang berdampak pada bergejolaknya harga aset secara global, termasuk Indonesia. Pemberian tarif tambahan terhadap impor China yang dilakukan oleh AS sudah berdampak pada nilai tukar negara-negara berkembang yang terus mengalami pelemahan.

Tidak hanya perseteruan AS-China, krisis Italia turut memperparah pelemahan pada Rupiah. Akibatnya, saat ini Rupiah melemah menjadi kisaran Rp 15.000. Krisis Italia berdampak pada semakin tertekannya posisi euro (setelah brexit) sedangkan dolar semakin menguat karena banyaknya aliran modal ke AS. Hal tersebut berdampak pada permintaan dolar AS semakin meningkat akan tetapi mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia tak lagi menarik bagi investor. 

Ekspektasi pelaku pasar terhadap perekonomian yang cenderung memburuk berdampak pada aksi memborong aset berdenominasi dolar yang dianggap sebagai aset yang paling aman. Ketidak-pastian perekonomian global semakin diperparah dengan melonjaknya harga minyak dunia menjadi USD 69,42 per barrel yang berdampak pada semakin besar defisit transaksi berjalan Indonesia.

Efek Taper Tantrum

Bergejolaknya Rupiah saat ini sejalan dengan kebijakan the Fed dalam menaikkan suku bunga. The Fed sendiri telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali pada 21 Maret 2018, 13 Juni 2018, dan 26 September 2018, bahkan dikabarkan the Fed kembali berencana untuk menaikkan suku bunga acuan untuk ke-empat kalinya. Langkah kenaikan suku bunga acuan AS mendorong aliran modal kembali ke AS yang menyebabkan penurunan nilai tukar  mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Kondisi ini digambarkan mirip dengan pelemahan nilai tukar negara-negara berkembang sebagai akibat rencana kenaikan suku bunga acuan AS pada tahun 2013. Saat itu, the Fed mengumumkan tidak lagi menggunakan kebijakan quantitative easing yang sebelumnya mendorong aliran modal masuk ke negara berkembang (termasuk Indonesia) dan berakibat pada menguatnya Rupiah. Sebagai akibatnya, saat itu, nilai Rupiah terdepresiasi. Kemudian, efek melemahnya mata uang negara berkembang ini dikenal sebagai efek taper tantrum.

Efek taper tantrum dikhawatirkan akan kembali terulang pada 2018 ini, mengingat the Fed kembali melakukan kebijakan kenaikan suku bunga acuan. Ditambah lagi, kondisi perekonomian Indonesia belum sepenuhnya tahan terhadap guncangan eksternal. Indonesia pun masih sangat tergantung pada investasi portofolio untuk membiayai defisit transaksi berjalan. 

Sebagai akibatnya, kenaikan suku bunga acuan AS akan berdampak pada kepanikan di pasar keuangan sebagai akibat larinya modal keluar Indonesia sehingga Rupiah pun semakin melemah. Bank Indonesia sebenarnya sudah melakukan upaya preventif untuk mencegah terulangnya efek taper tantrum ini dengan menaikkan suku bunga acuan. Tercatat BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak lima dengan kenaikan sebesar 150 bps selama tahun 2018. Kenaikan suku bunga acuan BI merupakan langkah mengurangi defisit transaksi berjalan dan mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun