Mohon tunggu...
Hilmi LasmiyatiMiladiana
Hilmi LasmiyatiMiladiana Mohon Tunggu... Guru - Laksmi Purwandita

Guru bahasa Indonesia Penulis belasan antologi bersama Penulis antologi puisi solo DARI NOL HINGGA ANANTA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Sisi Damara

2 Juni 2020   05:33 Diperbarui: 2 Juni 2020   05:40 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

DUA SISI DAMARA


Damara menyatukan telapak kanan dan kirinya di depan dagu. "Masih ada yang perlu dibantu lagi?" Ibu di depannya hanya menggeleng lalu beranjak pergi.

Hari yang menyebalkan, ucap Damara membatin. Dari hari pertama ia menjadi teller di salah satu bank ternama. Keluh itu telah menjadi dzikir yang tak berhenti ia dawamkan.

Bahkan kini, ia makin merasa iri.
Batinnya menggerutu. Kala wabah Corona melanda dimana hampir semua orang bisa bekerja dari rumah. Ia masih harus tetap keluar rumah untuk bekerja.

Tak ada kelonggaran yang ia rasakan. Ia harus tetap masuk kerja, kepayahan megap-megap menghitung lembar uang yang bahkan bukan miliknya.

Mungkin bagi kebanyakan orang pekerjaannya adalah dambaan. Berseragam keren, wangi, bergaji tinggi dan prestisius. Namun, baginya kerja seharian mengulang pola yang sama. Apa bedanya dengan robot?

***

Selepas lulus kuliah, orang tuanya berharap Damara punya pekerjaan tetap seperti kebanyakan orang. Bukan luntang lantung gak karuan membawa buku catatan dan pena.

Membaca buku, mencoret puisi dan cerita dari mentari terbit hingga tenggelam. Kadang dapat honor kalau tulisannya dimuat, namun seringnya bokek tanpa uang.

"Dam, mama tahu kamu sangat suka menulis. Mama bisa lihat raut bahagia setiap tulisan kamu dimuat ..... Tapi Dam, mau sampai kapan kalau gini-gini terus? Mama malu ditanya saudara sekarang kamu kerja dimana." Keluh mama meledak melihat Damara masih nganggur 6 bulan selepas lulus kuliah.

"Coba kamu mulai melamar kerja sana! Cari kerjaan yang tetap, yang menjanjikan masa depan. Pegawai bank atau PNS. Bukannya penulis yang gak karuan penghasilannya." Mama melanjutkan keluhnya.

Damara tertunduk. Dadanya panas mendengar serbuan keluh mama. Tangannya mengepal, jika yang berbicara bukan mama sudah habis ia lawan dengan ratusan manfaat menulis dan bagaimana penulis jadi pekerjaan idaman seperti JK Rowling atau Andrea Hirata.

Namun apa daya, Damara masih penulis amatir. Tak ada bukti nyata yang bisa ia sodorkan.

Detik itu kala darahnya mendidih, seluruh jiwa  raganya bertekad bahwa ia pantas raih dua-duanya. Damara yakin ia bisa jadi pegawai di bank ternama sekaligus penulis papan atas.

***

Jam dinding menunjukkan pukul 17.28. Dengung laptop beranjak sunyi. Damara mengembus napas lega. Laporan harian telah selesai dikerjakannya.

"Pak Margono, saya pulang duluan ya!" Damara pamit pada satpam sambil mengenakan jaket untuk beranjak pulang.

Mata Damara gemintang. Pulang adalah pintu gerbang impiannya. Gegas ia menuju rumah. Masuk dalam kamar, menyambar komputer jinjing. Mengetik ide cerita yang terngiang kala membuat laporan tadi.

Seorang lelaki dan perempuan makan es krim strawberry berdua. Mereka duduk menatap jalanan yang sibuk. "Aku tak bisa begini, terus." ujar si lelaki, mengeluh.

Bandung, 31 Mei 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun