Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mendemokrasikan Pembelajaran Berkelanjutan

20 Desember 2017   11:48 Diperbarui: 20 Desember 2017   12:21 1435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa bulan lalu saya bertemu Mas Eko, seorang pengemudi Gocar yang mobilnya sedang saya tumpangi di Balikpapan. Di perjalanan kami mengobrol. Eko usianya awal 30-an. Selain narik Gocar, ia punya usaha laundry di rumah yang usia usahanya 3 tahun. Karyawannya 7 orang.

Saya tanya berapa modal awalnya memulai usaha laundry.

"Saya tidak pakai modal. Modal saya mesin cuci rumahan yang sudah saya punya, jadi tidak beli lagi. Saya dan istri cuci setrika sendiri," ucap Eko.

Saya tak ragu pada jawaban itu. Meski, beberapa waktu sebelumnya teman saya seorang pengusaha laundy yang lain pernah bilang bahwa modal minimal usaha laundry itu Rp 35 juta, idealnya Rp 80 juta. Saya agak skeptis waktu itu. Karena besar sekali modalnya untuk sebuah usaha kecil. Tapi karena dia pengusaha laundry dan saya bukan, maka saya serap saja informasi itu. Namun Eko membuktikan bahwa ada cara lain dalam memulai usaha laundry dengan modal sangat minimal, tapi bisa terus tumbuh. Bahkan kini Eko punya usaha sampingan sebagai supplier alat dan material laundry di Balikpapan.

Usaha laundry. Tanpa modal. 3 tahun dengan 7 karyawan. Menurut saya Eko telah berhasil melahirkan dan mengembangkan usahanya secara sehat. Kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan Eko dalam melahirkembangkan usaha laundry-nya sangat perlu disebarkan ke orang lain. Dia bisa menginspirasi dan membantu ekonomi banyak orang. Kita hanya harus menemukan tempat dan caranya.

MENGEKSTRAK NILAI

Sejak permulaan zaman, manusia mempertahankan hidupnya dengan cara mengekstrak nilai yang terdapat pada dirinya untuk dipertukarkan dengan kebutuhannya, baik yang disediakan alam atau orang lain. Nilai itu adalah kemampuan, kapabilitas, keahlian. Tak ada seorang pun hidup tanpa kapabilitas, atau ia tak akan bisa mempertukarkan apapun untuk memenuhi kebutuhannya. Nenek moyang kita memenuhi kebutuhan itu dengan cara menggunakan nilai pada dirinya untuk mengekstrak nilai yang disediakan alam. Seperti berburu, mengolah bahan baku, mengelola lahan, hingga membuat perangkat dari kayu dan batu.

Seiring waktu, nilai tersebut tak hanya bisa diekstrak dari alam, tapi juga individu lain. Manusia kemudian saling mendistribusikan dan bertukar nilai untuk memenuhi kebutuhan masing-masing: menggunakan nilai pada dirinya yang diubah ke bentuk barang dan jasa untuk ditukar dengan sesuatu yang ia butuhkan. Dalam ekonomi kita mengenalnya sebagai perdagangan dan ketenagakerjaan. Jadi, percayalah bahwa setiap orang dewasa yang masih bernafas, termasuk kita, pasti memiliki kapabilitas sebagai nilai untuk kita tukarkan dengan kebutuhan hidup.

Namun meningkatnya kompleksitas hidup membuat setiap individu harus menempa kapabilitasnya terus-menerus. Tak hanya demi meningkatkan nilai pada dirinya, tapi juga menjaga agar nilai tersebut tetap bisa dipertukarkan.

Sementara, globalisasi, teknologi, dan volatilitas ekonomi membuat persaingan nilai makin ketat. Persaingan tak hanya terjadi antar individu, tapi juga individu dan teknologi. Para pekerja call center dan customer service di AS dan Eropa kehilangan pekerjaannya karena kegiatan dipindah ke India atau Bangladesh yang bisa menyediakan pekerja dengan nilai yang sama namun bisa dipertukarkan dengan nilai yang 3-5 kali lipat lebih rendah. Begitu pula dengan para pengemudi Gojek sekarang mampu menangkap nilai sebagai pelaku usaha moda transportasi dengan biaya, risiko, dan upaya jauh lebih rendah ketimbang menjadi pekerja di perusahaan transportasi umum (yang dulu menjadi satu-satunya pihak yang menyediakan nilai tersebut).

DISTRIBUSI NILAI

Sementara, teknologi akhirnya membuka pintu-pintu yang dulunya tertutup: akses informasi dan komunikasi pada level global. Berbagai cara baru meningkatkan nilai dieksperimenkan, ditemukan, dan didistribusikan, yang pada akhirnya mampu meningkatkan daya saing individu dengan cara berbeda namun lebih efektif dan efisien. Seorang penjual makanan bisa menemukan resep baru di berbagai blog dan mengolah bahan lebih baik lewat belajar di Youtube. Mas Eko mampu memulai usaha laundry tanpa modal karena terinspirasi oleh seseorang di media sosial dan belajar tekniknya dari berbagai sumber di internet.

Nasehat bahwa hidup adalah proses belajar tanpa henti menjadi makin nyata di zaman ini. Setiap orang makin perlu menjaga, memelihara, menempa, dan mengembangkan nilai dirinya dalam dunia yang begitu cepat berubah, flat, dan bersaing sengit. Tanpa itu, nilai pada dirinya tidak akan relevan lagi atau menurunnya daya saing. Kita mesti menemukan cara dan pendekatan baru dalam pembelajaran yang berkelanjutan demi peningkatan nilai diri secara kontiyu. Kita tidak bisa terlalu berharap kepada institusi pendidikan formal yang tertatih-tatih mengejar kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berbasis kompetensi. Kita perlu mengikuti sebuah nasehat tua: Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah. Kita mesti belajar dari setiap orang dan dimanapun untuk menjaga dan meningkatkan nilai diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun