Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengapa Perusahaan Gagal Berinovasi?

23 Mei 2017   12:50 Diperbarui: 23 Mei 2017   13:46 4608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(gambar via cgsociety.org)

Di DARPA, para peneliti selalu bisa memonetisasi kesuksesan mereka lewat penyelenggaraan proyek baru yang didanai pihak luar dengan dana gemuk, mendapatkan posisi tinggi dalam industri, atau jabatan di pemerintahan yang membuat mereka mendapat wewenang dan anggaran lebih besar. Yang seperti ini tidak terjadi dalam ekosistem R&D perusahaan medioker. Bahkan para inovator dan teknokrat muda bercelana pendek, berbaju kaos, bersendal jepit yang berkumpul dalam pertemuan start-up bisa jauh lebih kaya dibanding para inovator dalam perusahaan besar bergelar PhD.

Siapa penemu alat medis mutakhir yang Anda ingat? Siapa penemu transmisi triptonic pada mobil? Siapa yang menemukan wajan Happycall? Anda tidak tahu atau tidak ingat. Begitu juga saya dan mayoritas orang.

Tapi, siapa inovator transportasi dunia dan Indonesia? Travis Kalanick dan Nadiem Makarim.
Siapa inovator dalam bisnis retail dunia? Jeff Bezos.
Siapa inovator di dunia media? Mark Zuckerberg.
Siapa inovator di bisnis grosir? Jack Ma.

Nyaris tidak ada ruang bagi inovator dalam perusahaan untuk mencapai puncak reputasi atau popularitas. Bila pun ada akan sangat terbatas. Di DARPA, semua orang mengejar popularitas dalam keberhasilan inovasi atau technological fame. Orang-orang yang saya sebut di atas adalah mereka yang meraih popularitas kelas dunia dan mencapai kesuksesan level ultimate sebagai inovator. Bila Nadiem masih tetap bekerja di McKinsey atau Jeff Bezos masih bertahan di Banker Trust, mereka mungkin akan senasib dengan para inovator perusahaan --- tak punya reputasi apapun di level dunia.

Kultur
Direksi dan manajer biasanya terus menekankan pada rapat: ayo kita terus berinovasi demi kelangsungan hidup perusahaan kita.
Ini kesalahan fatal. Mereka menganggap inovasi sebagai kegiatan. Padahal inovasi adalah sebuah kultur dan sebuah sikap yang didukung oleh serangkaian proses yang longgar dan proyeksi hasil yang tak pasti. Logika ini susah diterima perusahaan karena kultur perusahaan didesain untuk direpetisi, konsisten, bisa diprediksi, dan menguntungkan. Mereka juga didesain untuk memiliki skalabilitas, tetapi dalam batas tertentu. Hanya orang-orang jenius yang bisa menjawab tantangan ini: mereka yang berada di Google, Apple, Facebook atau Samsung. Jenius saja tidak cukup, tetapi juga berani atau nekat. 

Di DARPA dan perusahaan-perusahaan di atas, Anda boleh gagal, tapi tak boleh bodoh. Anda mesti cerdas atau disingkirkan selamanya. Orang bodoh tak punya tempat di DARPA.

Kapan terakhir Anda gagal dalam project yang ditugaskan perusahaan kepada Anda dan dihabisi karenanya? Nasehat orang tua "belajarlah dari kesalahan" tidak berlaku di institusi Anda karena Anda tidak diberi ruang kesalahan dalam mencoba. Atasan Anda menganggap bahwa inovasi atau segala sesuatu yang baru itu seperti menyulap barang ajaib: langsung ada dan tak bisa salah. Bila Edison beranggapan demikian, kita akan hidup di dunia tanpa lampu. Nadiem Makarim bercerita, suatu hari seorang programmer di Gojek melakukan kesalahan yang menyebabkan perusahaan itu rugi Rp 4 miliar dalam sehari. "Tapi tak ada satupun yang memarahi programmer itu, dan memang tak perlu dimarahi," kata Nadiem.

Keberanian
Di DARPA haram hukumnya memulai inovasi lewat SWOT -- seperti yang mungkin kerap dilakukan dalam perusahaan. Karena SWOT adalah tool untuk menekan risiko, bukan untuk berinovasi. Bila perusahaan melakukan SWOT, mereka tidak sedang berinovasi. Inovasi bukanlah sesuatu yang reaktif dan konstan. Inovasi bersifat proaktif sekaligus sulit diantisipasi di depan, namun bisa sangat impactful bila berhasil. Untuk mencapainya Anda harus punya keberuntungan yang merupakan atribut mahal untuk ditebus.

'Keberuntungan' adalah hal paling dibenci dalam bisnis karena ia tak bisa dikontrol dan diantisipasi. Karena itu umumnya perusahaan sangat sulit mendanai inovasi yang tak bisa memberikan kepastian. Mereka mengelola inovasi seperti halnya mengelola pembangunan pabrik baru. Cara ini tidak akan berhasil. Mendanai inovasi artinya membiayai sebuah perjalanan mencari keberuntungan.

Itulah sebabnya kita melihat perusahaan-perusahaan baru start-up bisa melejit begitu dahsyat dan mampu mematikan perusahaan besar hanya 'dalam semalam'. Karena mereka punya sesuatu yang tidak dimiliki perusahaan besar: anak-anak muda yang lapar dan berani. Mereka bersedia menjelajahi yang tak pasti demi mendapatkan keberuntungan -- karena gagal merupakan sesuatu yang bisa diterima.

Mereka tetap menjaga ukurannya tetap kecil, memulai sesuatu dari yang kecil, tetapi bisa membesar dengan sangat cepat. Patron mereka adalah Google, Facebook, Amazon, Apple, Uber -- perusahaan-perusahaan yang menjadikan keberanian dalam berinovasi (dan berbuat kesalahan) sebagai bahan bakar utama. Role model bagi generasi ini bukan lagi Caltex, P&G, DuPont, Shell, British Petroleum, Unilever, atau Coca Cola -- nama-nama merk yang sudah tergeser dalam peringkat 5 besar brand dengan nilai tertinggi di dunia digantikan oleh para perusahaan teknologi hanya dalam waktu 5 tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun