Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Menyelamatkan Koran dari Kiamat

5 Januari 2016   09:58 Diperbarui: 2 Januari 2018   21:10 20534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kartun kematian satu demi satu media dan teknologi lama. (sumber: loo.me)

Bicara tentang koran akhir-akhir ini cenderung menguras emosi. Desember 2015 lalu kita disuguhi kabar koran sore tertua di Indonesia, Sinar Harapan, tutup per 1 Januari 2016. Wartawan senior Kompas, Bre Redana, menulis artikel Inikah Senjakala Kami yang banyak diperbincangkan.

Dalam masanya, koran telah menghasilkan begitu banyak konten yang mengekspos masalah di masyarakat kita dibanding medium lain, dan menjadi salah satu pilar perubahan sebuah bangsa. Kini mereka dihadapkan pada tantangan mesti bertahan ketika tanda-tanda kehidupan di depan makin redup. Dan solusinya samasekali belum jelas.

Sayangnya, untuk mencari solusi itu para pelaku bisnis koran hanya berkutat pada pertanyaan ini: "Bagaimana cara kita menghasilkan uang dari konten?", atau "Bagaimana cara kita menghasilkan uang dari sebuah produk lama dimana peminatnya terus turun?".

Harusnya, inilah yang mesti mereka pertanyakan: "Apa produk baru yang harus kita buat berdasarkan kompetensi kita?", dan "Apa saja kapabilitas baru di luar sana yang bisa kita gabungkan menjadi sebuah orkestra untuk menghasilkan nilai baru bagi konsumen?".

Namun, industri besar media cetak berdiri di atas paradigma bisnis lama yang akan sangat kesulitan menciptakan hal-hal baru Mereka telah mapan dengan expertise-nya masing-masing dan berada dalam zona nyaman. Sebagai organisasi besar, mereka butuh stabilitas dan cenderung menghindari risiko, termasuk risiko membanting setir ke model bisnis lain. Sebagai gantinya, mereka mengurung diri dalam benteng yang mereka sebut 'jurnalistik yang sejati', sampai benteng itu benar-benar runtuh.

Saat ini koran tengah dalam perburuan atas model bisnis baru dan mendapatkan hati para audiens yang telah bermigrasi ke dunia maya. The New York Times adalah salah satu yang berhasil melaluinya. 

Namun ia membutuhkan kerelaan besar, yakni menyerahkan atau berbagi kontrol dan tenaga kepada kerumunan. Tidak semua pelaku media rela melakukannya, seperti juga Rupert Murdoch dengan Wall Street Journal-nya. Profesi dan kompetensi wartawan terlanjur dianggap terlalu sakral untuk dibagi. Wartawan melihat dirinya sebagai pendekar di jalur pedang yang diberi misi suci menjaga jurnalistik setia di jalurnya.

EMPAT LANGKAH PENYELAMATAN

Di depan sana bukan hanyaNew Media yang tumbuh begitu subur, namun terompet kiamat bagi koran juga sudah tampak mengambang di horison. Lalu bagaimana cara koran melakukan mereposisi nilai dan model bisnisnya? Setidaknya ada 4 strategi yang patut diperhatikan.

Pertama, cermati perilaku anak muda.

Di tahun 2004 saya pernah menjadi project manager rubrik anak muda di sebuah surat kabar jaringan media nasional. Para pimpinan saya berpendapat bahwa melayani kebutuhan anak muda melalui koran adalah investasi karena mereka adalah pembaca masa depan koran. Tapi saya merasa sangat janggal dengan tugas ini. Karena saya yakin kultur membaca di masa depan tidak akan sama lagi. Dan memang itulah yang sekarang terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun