Yang Paling Banyak Diam Justru Mereka yang Menanggung Berisik yang Teramat
Di dunia yang semakin bising ini, kita cenderung lebih mudah melihat yang lantang daripada yang diam. Kita terbiasa memberi atensi pada yang paling vokal, yang paling ekspresif, yang paling mampu mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Tapi, pernahkah kamu berhenti sejenak, lalu menoleh kepada seseorang yang tak banyak bicara, yang keberadaannya terasa begitu tenang bahkan kadang tak terlihat? Pernahkah kamu menyadari bahwa bisa jadi, justru di dalam diam mereka, ada badai yang sedang mereka redam sendiri?
Tidak semua luka tampak dalam bentuk air mata. Tidak semua jeritan terdengar oleh telinga. Dan tidak semua pergolakan hati bisa diterjemahkan lewat cerita. Beberapa orang, memilih diam. Bukan karena mereka tak punya perasaan. Tapi karena mereka terlalu penuh oleh rasa.
Mereka yang paling banyak diam sering kali adalah mereka yang paling keras menanggung berisik dalam kepalanya sendiri. Suara-suara yang tak didengar orang lain, namun begitu riuh menyayat di dalam dirinya. Kegelisahan, ketakutan, pertanyaan tanpa jawaban, rasa tidak cukup, rasa bersalah, bahkan rasa kehilangan yang tak kunjung selesai. Semuanya berteriak serempak di dalam diri mereka, tanpa ada satu pun yang tahu.
Sayangnya, kita hidup di tengah masyarakat yang masih terlalu cepat menghakimi. "Kok kamu diam aja, sih?" "Gak pernah cerita, ya pasti gak peduli." "Cuek banget sih kamu." Kalimat-kalimat ini terdengar biasa saja, seolah tak menyakitkan. Tapi bagi mereka yang diam bukan karena tak merasa, melainkan justru karena terlalu merasa, itu seperti tamparan yang mengoyak lapisan terakhir ketenangan yang mereka coba bangun susah payah.
Kita tidak pernah tahu isi kepala seseorang hanya dari raut mukanya. Kita tidak bisa mengukur kedalaman luka seseorang dari seberapa banyak mereka bercerita. Kita tidak berhak menyimpulkan rasa seseorang hanya dari seberapa keras suara mereka terdengar.
Beberapa orang memang tidak tumbuh di lingkungan yang aman untuk mengekspresikan perasaan. Mereka dibesarkan dalam ketakutan untuk 'terlalu merasa'. Dulu, saat mereka sedih, mereka diminta diam. Saat mereka marah, mereka diminta kalem. Saat mereka ingin bercerita, mereka dianggap berlebihan. Maka mereka belajar, bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah diam.
Tapi Diam Bukan Berarti Baik-baik Saja.
Mereka bisa saja diam saat kehilangan. Diam saat dihina. Diam saat patah. Diam saat terlalu lelah untuk menjelaskan mengapa mereka begini. Dan celakanya, dunia akan terus mengira bahwa mereka kuat, mereka cuek, mereka tak butuh dipedulikan.
Padahal, mereka pun ingin dimengerti. Hanya saja, mereka tidak tahu caranya mengungkapkan dengan cara yang bisa orang lain pahami. Maka mereka memilih menyimpan semua sendirian. Menjadi tempat sampah bagi diri sendiri. Menjadi pelipur lara untuk dirinya sendiri. Menjadi penguat dan penyembuh dalam satu tubuh yang sama.