Mohon tunggu...
Hilma Nuraeni
Hilma Nuraeni Mohon Tunggu... Content Writer

INFP-T/INFJ Book, nature, classical music, and poem🍁 Me and my writing against the world 🌼

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Stop Normalisasi Perilaku Buruk Anak dengan Dalih "Namanya Juga Anak-Anak"

13 Juni 2025   11:10 Diperbarui: 13 Juni 2025   13:28 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Anak Nakal & Sumber: Pexel/August de Richelieu)

"Namanya juga anak-anak."

Kalimat pendek ini terdengar ringan, tapi dampaknya bisa sangat panjang. Bahkan bisa berujung pada terbentuknya generasi yang tidak tahu sopan santun, tidak bisa diatur, dan tidak tahu cara memperlakukan orang lain dengan hormat. Hanya karena dianggap "masih kecil", banyak perilaku buruk anak yang dibela mati-matian oleh orangtuanya. Dari memukul teman, berkata kasar, menyela pembicaraan orang dewasa, hingga merusak barang milik umum, semua ditoleransi dengan tameng klasik, "Namanya juga anak-anak."

Sayangnya, yang sering lupa adalah: anak-anak adalah peniru ulung. Mereka menyerap lingkungan dan membentuk karakter dari apa yang mereka lihat, dengar, dan lakukan termasuk dari bagaimana respons orangtua terhadap tindakan mereka. Jika sejak kecil dibiarkan berperilaku tidak sopan tanpa koreksi, jangan harap mereka bisa tumbuh jadi manusia yang tahu batasan saat dewasa nanti.

Anak-anak Boleh Salah, tapi Tidak untuk Dibiasakan

Tidak ada yang menyuruh orangtua jadi diktator di rumah. Anak-anak tentu boleh salah. Mereka juga punya hak untuk mengeksplorasi dunia dan berproses dalam tumbuh kembangnya. Tapi yang jadi masalah adalah ketika kesalahan itu dianggap lucu, dimaklumi, atau bahkan dibanggakan.

Anak yang menyela pembicaraan orang dewasa sambil teriak-teriak di restoran bukanlah anak "ceria dan aktif". Itu adalah anak yang tidak diajarkan batasan. Anak yang memukul temannya saat main bukan "berani dan tegas". Itu adalah anak yang tidak diajari mengelola emosi. Anak yang tidak tahu caranya meminta maaf setelah berbuat salah bukanlah "anak pemalu". Itu adalah anak yang tidak diajari tanggung jawab sosial sejak dini.

Dan ini semua bukan kesalahan anak. Ini adalah kelalaian orangtua.

Didik Anak dari Kecil, Bukan Nanti-Nanti

Banyak orangtua beralasan, "Nanti aja dikasih tahu kalau udah bisa ngerti." Pertanyaannya, kapan itu "nanti"? Apakah setelah mereka tumbuh dan merasa semua sikap buruknya adalah normal karena tidak pernah dikoreksi sebelumnya?

Mengajarkan etika dasar seperti meminta maaf, mengucapkan terima kasih, memberi salam, tidak menyela orang bicara, atau tahu bagaimana bersikap dengan orang yang lebih tua dan lebih muda adalah hal yang bisa dan seharusnya diajarkan sejak anak bisa bicara dan berinteraksi sosial. Tidak perlu menunggu mereka "dewasa", karena dewasa bukan soal umur. Dewasa adalah soal kebiasaan dan kesadaran, dan itu semua ditanam sejak kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun