Tuturmu mengisyaratkan henti, sedang semesta memaksaku untuk berlari. Semestaku begitu asyik dengan candaannya, memainkan rasa, membenturkan raga, menghadirkan tawa, di sela-sela keangkuhan diri yang terus mengangkasa.
Hatiku babak belur, diberi harapan oleh semesta dengan potongan-potongan isyarat yang begitu nyata dan tak terbantahkan. Tapi, di sisi lain hatiku juga diporak-porandakan oleh pahitnya kenyataan yang kudengar langsung dari lisan yang punya hati.
Aku diterbangkan setinggi-tingginya oleh semesta lalu dijatuhkan, sejatuh-jatuhnya oleh kenyataan yang berbanding terbalik dari yang semesta isyaratkan. Entah semestaku yang memang pandai mengelabui, atau aku yang memang terlalu naif memaknai