Mohon tunggu...
HIKARI YULI
HIKARI YULI Mohon Tunggu... Guru - Guru matematika yang jatuh cinta pada aksara

Guru matematika SMAN 1 PAKEL TULUNGAGUNG, JAWA TIMUR

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Menembus Penerbit Mayor (Resume 21)

6 Februari 2020   17:26 Diperbarui: 6 Februari 2020   17:24 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih perlukah buku teks (buku ajar/buku pelajaran dalam bentuk cetak) pada era 4.0?

Pada era serba digital, keberadaan buku cetak sebagian besar sudah tergantikan oleh Ebook yang mudah diperoleh secara gratis. Bahkan untuk keperluan pembelajran pemerintah pun sudah menerbitkan pelbagai buku BSE.

Lalu, masih perlukah buku teks?

Esensi buku teks pelajaran adalah memberikan informasi dan materi kepada peserta didik melalui bahan yang berbentuk cetakan. Sebagaimana kita ketahui buku teks merupakan salah satu sumber belajar dan bahan ajar yang banyak digunakan dalam pembelajaran utamanya pembelajaran konvensional. Meskipun terdengar jadul (konvensional/tradisional) namun nyatanya keberadaan buku teks masih memegang peranan sangat penting. Buku teks pelajaran masih cukup mampu memberikan kontribusi yang baik pada pembelajaran. Bahkan beberapa materi pembelajaran tidak dapat diajarkan tanpa bantuan buku teks pelajaran.

Keberadaan buku teks pembelajaran begitu penting sehingga diprioritaskan dan dimanfaatkan sebagai pendamping siswa dalam mengembangkan daya pikirnya sendiri. Tanpa buku semacam teks, siswa akan kesulitan dalam belajar, baik di dalam kelas maupun secara mandiri. Jadi, buku tersebut dapat dikatakan sebagai pegangan utama peserta didik, baik dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi maupun dari sekolah negeri atau swasta. Oleh karena buku teks/ buku pelajaran memuat materi pelajaran ditambah dengan informasi yang relevan secara menyeluruh dan lengkap maka tak heran bila penggunaan buku teks pelajaran tersebut cenderung dominan. Buku teks / buku pelajaran dapat digunakan berdampingan dengan sumber belajar atau media pembelajaran lainnya. Atau dalam kondisi terpaksa bisa juga digunakan sebagai media tunggal dalam suatu pembelajaran.

Tidak hanya digunakan oleh peserta didik, buku teks juga digunakan oleh pendidik. Para tenaga pendidik memerlukan buku tersebut sebagai silabus. Ditambah lagi, buku tersebut memberikan panduan instruksional kepada pendidik untuk memudahkan mereka dalam mengajar, apabila tidak terdapat silabus. Oleh karena itu, buku jenis ini juga sangat diperlukan oleh para pendidik di Indonesia.

Tak jarang seorang pendidik akan dihadapkan dengan buku teks yang beraneka ragam termasuk isi cakupan pembasan di dalam buku teks pelajaran yang terkadang berbeda. Apalagi bila buku teks tersebut dibuat bersamaan dengan pergantian kurikulum. tak jarang kita menemukan buku yang kurang sesuai dengan tagihan silabus yang seharusnya sehingga kita harus mencari rujukan pada buku teks lain. sebagai misal pada buku A belum membahas tentang nilai mutlak padahal seharusnya ada materi tersebut. maka pendidik harus mencari tambahan buku teks lain untuk melengkapi materi sesuai tagihan kurikulum pada silabus.

Seringnya nenghadapi adanya buku teks yang kurang lengkap isinya, Pernahkah terlintas dalam pikiran kita untuk membuat buku teks sendiri?

Mungkin diantara kita ada yang sempat terlintas pikiran untuk membuat buku teks sendiri atau bahkan sudah membuat buku teksnya sendiri. Tentu saja bila kita bisa membuat buku teks sendiri kelebihannya adalah kita bisa menyesuaikan dengan apa yang kita butuhkan dan model pembelajaran yang hendak kita gunakan nantinya. Namun, kendalanya adalah sudah layakkah buku teks buatan kita untuk digunakan? Yup dari segi penampilan, jika buku ajar buatan kita hanya dicetak biasa dan dijilid biasa tentunya kurang menarik dan hanya bisa digunakan di kalangan sendiri karena kurang layak untuk dipasarkan keluar.

Bagaimana bila kita ingin buku kita lebih layak digunakan baik dari segi isi maupun penampilan? Jawabannya adalah dengan cara diajukan ke penerbit untuk diterbitkan dan di-ISBN-kan. Setidaknya naskah kita yang kita ajukan pada penerbit akan melalui fase editing kembali bukan dan di telaah lebih jauh untuk layak tidaknya diterbitkan. Apalagi bila naskah kita ajukan pada penerbit mayor yang punya standarisasi isi lebih jelas.

Mungkin sebagian dari kita masih bingung tentang mekanisme penerbitan buku, sehingga muncul semacam pesimisme. Seakan berada pada sebuah dilema, menerbitkan di penerbit Indie terganjal pada biaya dan semacam takut sia-sia. Padahal tidak ada satupun yang sia-sia, sebagaimana pesan buku 4 (tentang PKB guru dan angka kreditnya) sangat jelas bahwa karya kita dihargai dalam bentuk angka kredit sebagaimana tabel berikut :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun