Mohon tunggu...
HIJRASIL
HIJRASIL Mohon Tunggu... Administrasi - pemula

menjadi manusia seutuhnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Pengejar Fajar

10 November 2018   00:34 Diperbarui: 10 November 2018   01:16 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi begitu sendu saat kabut tipis-tipis menyelimuti sepanjang hilir kampung sungai garam. Derap kaki aku percepat biar  bisa merasakan udara pagi yang di semburkan alam dari dedaunan, melihat dedaunan yang basah oleh embun, mendengar suara burung. 

Otak yang sumpek  oleh polusi dari asap-asap kendaraan, terkurung tembok-tembok gedung  pencakar langit dari jakarta, mencair  oleh hijaunya perkampungan .

Satu persatu manusia di di kampung ini mulai keluar dari sarangnya, suara dering sepeda, dan suara mesin sepeda motor nampak memecah kesenduan pagi.

 Dari tempatku berdiri cahaya  fajar menerobos masuk menumbuk melalui celah-celah daun kelapa.  Pandangan aku tertarik oleh sosok manusia saat dia bergerak dengan sepeda yang di kayuhnya menuju ke arah ku.

Memakai topi khas petani, tampak dia seperti sosok lelaki dari ke jauhan. Penglihatan aku salah, ia seorang perempuan, gumam aku dalam hati. 

hal asing bagi ku melihat perempuan masuk ke tengah-tengah lahan mencangkul maupun menanam, sebuah pemandangan yang tak pernah aku temui. Awal melihatnya aku seperti sebuah paku saat berada di dekat magnet, ditarik untuk penasaran dan mengenalnya.

Pagi ini sekaligus menjadi pagi pertamu aku di kampung ini, sebagai buruh outsorsing  dari salah satu lembaga kementrian aku di amanatkan sebagai kulih masyarakat, membantu dan mendampingi masyarakat.

" Setidaknya lebih baik dari pada aku harus bekerja sebagai buruh di institusi kapitalis hamba dari pemilik modal" Dalam hati aku bersyukur.

"Tinggal di tengah-tengah masyarakat, mulai dari apa yang di lakukannya", kata-kata itu terpatri terus di kepalaku setelah seorang instruktur pendamping berkata pada aku dan teman-teman saat mendapatkan materi tentang strategi  pemberdayaan di masyarakat. 

Sambil mengingat kata-kata itu aku terus berjalan kembali ke kantor kelurahan.

Matahari sudah di atas pucuk daun kelapa saat  aku bersama renaldi mulai menata bangku-bangku di ruang pertemuan. Hari ini, kegiatan sosialisasi akan di mulai. Semua di inisiasi oleh pemerintah daerah, sosialisasi keberadaan aku dan renaldi di kampung sungai garam.

 Seperti sebuah hajatan besar seluruh tokoh masyarakat di undang, ketua RT, Babinsa, Kapolsek, Ibu-ibu PKK, ketua pemuda, ketua Tani, sampai pengurus masjid tak ketinggalan.

Kehadiran orang-orang di depan kami saat kegiatan sudah di mulai, nampak seperti sekolompok priyai kampung, menunggu di dengungkan ada pundi-pundi kertas bernominal akan jatuh dari ibu kota ke kampung.

Mungkin hari ini sebuah upacara perayaan sekaligus penyambutan kedatangan uang dengan jumlah besar.  mereka hanya memandang dua orang di depan tak lebih hanyalah sapih perahan yang kelak mendatangkan kebahagiaan untuk dompet mereka yang sudah lama kembang kempis.

Tampak dari pandangan aku, seorang perempuan dengan rambut ikal sebahu berkemeja biru di kiri kanannya mengegelantung gelang emas. Namanya ibu miranti, aku tahu namanya saat dia berdiri menyampaikan referensi diri. Sebuah perkenalan hambar, untuk menunjukkan status.

 Sebagai ketua PKK ia sepertinya memberikan daya tarik bagi aku. Gaya bicaranya di alunkan sederhana khas masyarakat kampung tetapi ada semacam ketegasan dari setiap kata-katanya yang keluar.

Aku baru tau pendidikannya hanya sebatas sekolah dasar saat ia mengajak aku dan renaldi bertamu ke rumahnya. Lebih mencengangkan saat aku tahu latar belakang dan seisinya rumahnya. 

Dua anaknya berpendidikan sekolah menegah atas, dan hanya satu melanjutkan kuliah itu pun sebenarnya tidak di setujui ibu mirna, suaminya pun berpendidikan sekolah dasar dan hanya sebagai buruh bangunan. Tetapi rumah di depan aku ini tidak seperti rumah sedarhana atau pun gubuk yang sesuai dengan yang aku bayangkan.

Sambil duduk di sofa terlihat dari luar jendela, seorang perempuan dengan usia sekitara empat puluh tahun lebih, perempuan itu sudah tak asing lagi, dalam benak aku berkata. Sepertinya perempuan paru baya itu yang kemarin aku lihat di pagi hari.

Tiba-tiba dari balik pintu seorang lelaki paru baya, muncul dengan warna kaus memudar. Dia masuk mengobrol dengan kami, dia memperkenalkan diri sebagai adik dari ibu miranti. 

Rumahnya tepat di sebelah rumah ibu miranti. Setelah obrolan kami jeda beberapa menit, lelaki itu menawarkan untuk tinggal di rumahnya bila kami berdua bersedia.

''kalau berkenan biar nanti tinggal saja di rumah pak long",

Mendengar tawaran lelaki di depan kami ini aku menggebu-gebu ingin tinggal bersama mereka saat aku meyakinkan renaldi untuk mau tinggal di rumah lelaki itu, belakangan baru aku tau panggilannya  pak long sebutan bagi anak kedua.

Setelah seminggu menimbang-nimbang aku memutuskan untuk tinggal bersama pak long dan keluarganya, renaldi tidak mau ikut karena alasan belum mau. Meskipun begitu dia berpikir aku tidak tahu kalau dia lebih sering nginap di rumah teman kami di desa tetangga.

Aku tidur bersama anak pertama mereka di ruang tengah, dirumah ini kelambu menjadi teman tidur, nyamuk bisa seukuran lalat dan bergerombol menjadi alasan mengapa penduduk di kampung ini menggunakan kelambu saat tidur.

 Ini pertama kalinya aku merasakan tidur di dalam kelambu. Aku membayangkan suasana seperti ini mirip tontonan tayangan film cina di televisi saat  masa kecil.

Bunyi gelas, di susul piring, suaranya bergelindan di ruang sebelah. Di susul suara azan subuh di masjid. Mak long sedang mengerjakan pekerjaan domestik  sebagai ibu rumah tangga. 

Seperti mengejar sang fajar, mak long bangun saat kami terlelap tidur. Awal tinggal bersama mereka aku selalu kagum ketika melihat sosok perempuan di dalam rumah itu. Mungkin sosok yang di banggakan suami dan anaknya.

Di saat subuh dia menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan anak,  pagi hari dia melalanjutkan pekerjaan di luar rumah sebagai buruh tani, di siang hari berganti profesi sebagai kader posyandu memberikan pelayanan kesehatan bagi bayi-bayi di kampung. Bila dapat aku menyebut, mak long sudah seperti perempuan modern, bebas.

Aku jadi teringat sebuah acara diskusi dulu waktu masih kuliah,  seorang pemateri mengatakan perempuan memiliki kerja ganda mengurus rumah tangga dan melayani suami. Tetapi bagi mak long perempuan mungkin seorang yang bebas tanpa ada embel-embel patriarki.

Menjadi seorang istri dari suami buruh bangunan tidak lah mudah mengurai isi hati mak long. 

seperti istri-istri lain, suami pulang tanpa uang laksana ibarat kiamat kecil di dalam rumah, kata-kata berhamburan di udara membentuk awan hitam melahirkan petir yang menyambar telinga sang suami. Tangan-tangan pun akan terbang mendarat di tubuh bila sang suami tak mampu memahami.

Tetapi di dalam rumah ini, aku tidak mendengar ataupun melihat adegan-adegan sinetron yang sering mengisahkan sang istri yang tak tahan dengan pendapatan suami, kemudia memutuskan balik ke rumah orang tua.

Di rumah ini pertunjukannya berbeda, masing-masing mengambil perannya, mak long tidak hanya menjadi seorang istri dengan duduk manis di dalam rumah, berdandan centil sambil menunggu sang suami pulang dari tempat kerja.

Bila pak long telah bepergian, mak long langsung menuju ke ladang. Menanam padi yang telah di semai. Bila padi sudah menguning dapur pun selalu berasap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun