Mohon tunggu...
hidayatul siammah
hidayatul siammah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Hukum Islam terhadap Hukum di Indonesia

16 Oktober 2021   13:00 Diperbarui: 16 Oktober 2021   17:55 4081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umat Islam Indonesia dapat dikatakan menjadi komunitas muslim paling besar  yg berada pada satu batas teritorial kenegaraan yg sangat diperhitungkan keberadaannya. oleh sebab itu, menjadi sangat menarik buat menyelidiki imbas perkembangan sejarah aturan Islam pada tengah-tengah komunitas Islam terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air mulai sejak komunitas muslim hadir di Indonesia. Kajian tentang dampak aturan Islam di Indonesia bisa dijadikan menjadi salah satu pijakan bagi umat Islam secara spesifik untuk menentukan taktik yg sempurna pada masa depan pada mendekatkan serta “mengakrabkan” bangsa ini dengan aturan Islam. Proses sejarah aturan Islam yang diwarnai “benturan” menggunakan tradisi yg sebelumnya berlaku dan  menggunakan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan, serta tindakan-tindakan yg diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu sehingga bisa menjadi bahan telaah krusial pada masa tiba. Setidak-tidaknya, pengaruh itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masharà'at bukanlah proses yg bisa terselesaikan seketika. Di dalam konteks diatas menarik sekali untuk mencermati kedudukanhukum islam yang dapat mempengaruhi politik hukum di Indonesia.

            Kilas balik Posisi dan Kontribusi Hukum Islam di Indonesia Dalam aspek historis, perjalanan hukum Islam dapat di lihat dari kehendak yang digariskan dalam politik hukum negara penjajah (Belanda). Sejak berdirinya VOC, pemerintah Belanda mengakui eksistensi hukum Islam seperti hukum kekeluargaan, hukum perkawinan dan hukum waris. Bahkan hukum kekeluargaan diakui dan diterapkan dalam bentuk peraturan Resoluti der Indische Regeering tanggal 25 Mei 1760 yaitu semua aturan perkawinan dan kewarisan Islam yang terkenal dengan Compendium Freijer (Suni 1996: 131). Selanjutnya dicantumkan dalam perundang-undangan, baik dalam Algemene Bepaligen van Wetgeving (AB) pasal 11 maupun dalam Regeering Reglement (RR) tahun 1855 pasal 75 ayat (3).

Pada fase ini dapat dilihat bahwa hukum Islam diterima secara penuh. Hal ini didasarkan pada teori Reception in Complexu yang dikemukakan oleh Van Ben Berg (Soekanto 1985: 3). Menurut teori ini adat istiadat dan hukum (adat) suatu golongan masyarakat adalah reception (penerimaan) seluruhnya dari agama yang dianut oleh masyarakat itu. Jadi, kalau ada konflik (perkara) yang berhubungan dengan perkawinan dan kewarisan, hakim hendaklah memperlakukan hukum Islam. Pada fase berikutnya, hukum Islam tidak dapat diterima secara penuh lagi, melainkan ada pembatasan. Artinya hukum Islam baru berlaku jika dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Tahun 1937, pemerintah Belanda memindahkan kewewenangan dalam hal mengatur kewarisan dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri (Stb. 1937 No. 116). Sikap pemerintah Belanda ini merupakan bagian dari politik hukumnya untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya, sekaligus meneguhkan hukumnya ke dalam sistem hukum di Nusantara. Pada tataran ini dapat diketahui bahwa pemberlakuan hukum Islam dikaitkan dengan hukum adat. Dengan kata lain, pergeseran hukum Islam dalam perundang- undangan kolonial menunjukkan posisi dan kontribusinya semakin tidak mendapat tempat dalam perspektif hukum. Momentum kemerdekaan merupakan babak baru dalam percaturan politik hukum. Artinya politik hukum kolonial yang tertuang dalam IS tidak berlaku dan konsekuensinya teori reception in complexu juga tidak berlaku lagi. Hukum Islam telah memiliki kedudukan mandiri dengan mendapat pengakuan strategis dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945.

Seiring dengan itu pula, sikap politik hukum pemerintah diwujudkan dalam Tap. MPRS No. II/MPRS/1960 bahwa penyempurnaan hukum perkawinan dan tata hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor agama. Namun saying tidak satupun lahir undang-undang di bidang hukum waris dan hukum perkawinan walaupun LPHN telah menyiapkan rancangan untuk hal tersebut. Hukum Islam hanya terlihat dalam putusan hakim yang menuju pada sistem bilateral di bidang hukum waris. Pada masa orde baru, posisi dan kontribusi hukum Islam dalam sistem hukum nasional dapat dilihat dari arah kebijakan politik hukum nasional yang dituangkan dalam rangkaian Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN). GBHN Tahun 1993 merupakan proses sikuen dari GBHN sebelumnya, yang menetapkan arah kebijakan hukum dengan penekanan semakin terwujudnya sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 yang meliputi materi hukum, aparatur penegak hukum serta sarana dan prasarana hukum. Untuk membentuk sistem hukum nasional masih diperdebatkan oleh para ahli hukum. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah yang dimaksud dengan hukum nasional itu dan bagaimana muatan hukum nasional?

 Mahadi (1983: 6) mengatakan bahwa hukum nasional adalah segala macam hukum yang kini berlaku di Indonesia. Dalam konteks ini, maka warisan hukum dari zaman Belanda termasuk hukum nasional. Ukuran lain yang dipakai adalah pembuat hukumnya. Kalau suatu undang-undang ditetapkan oleh pemerintah nasional, maka undang-undang itu merupakan hukum nasional. Konsekuensinya adalah semua produk hukum yang ditetapkan sejak tahun 1945 merupakanhukum nasional. Di lain pihak (ada pendapat yang menyatakan) bahwa tidak semua hasil buatan sesudah tahun 1945 mempunyai sifat nasional. Alam pikiran yang dipergunakan adalah suatu produk hukum itu harus diuji dahulu kepada Pancasila dan UUD 1945, barulah produk perundang-undanagan tersebut dapat dikatakan sebagai hukum nasional. Pandangan lain untuk menentukan hukum nasional adalah dilihat dari sifat penyusunannya, dan dasar hukum nasional adalah bersumber dari Pancasila (Kartohadiprojo 1978: 27). 

Dalam sistem hukum nasional, sejak orde baru tidak ditemukan secara spesifik yang menyebutkan hukum Islam baik sebagai sumber hukum nasional maupun sebagai cita-cita hukum positif. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada kontribusi hukum Islam dalam pembangunan sistem hukum nasional? Jawabnya ada. Hal ini terlihat dari beberapa produk hukum yang telah diciptakan pada masa orde baru seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Demikian pula telah dikeluarkan Kompilasi Hukum Islam yang diatur dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. keseluruhan produk hukum Islam tersebut masih berada dalam bidang hukum non netral dan belum ada yang menyentuh persoalan bidang hukum netral (Kusumaatmaja 1986: 6).

Hukum mayoritas : Substansi dalam Pengembangan Hukum di Indonesia Dalam mengembangkan hukum nasional, perlu diketahui nilai- nilai dasar dari substansi hukum nasional itu sendiri. Ada empat nilai yang menjadi dasar bagi pembentukan hukum nasional yang bersumber dari pembentukan UUD 1945, yaitu: Pertama, nilai dasar hukum yang bersifat mengayomi/melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; Kedua, nilai dasar hukum yang harus mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial di sini bukan sekedar tujuan, namun harus menjadi pegangan konkrit dalam membuat peraturan hukum; Ketiga, nilai dasar hukum yang berasal dari rakyat dan mengandung sifat kerakyatan; Keempat, nilai dasar hukum yang berlandaskan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memberikan dasar pengakuan terhadap adanya hukum-hukum Tuhan, di samping memperhatikan pula nilai-nilai kemanusiaan, moral dan budi pekerti yang luhur. Dalam kehidupan suatu bangsa yang memiliki identitas hukum sendiri, homogenitas relegius dapat menjadi variabel penentu untuk memberikan kontribusi terhadap substansi hukum nasionalnya. Dalam konteks ke-Indonesia-an, seharusnya yang mengisi hukum nasional adalah hukum mayoritas yang dibingkai oleh hukum kepribadian bangsa. Artinya pemberlakuan hukum mayoritas tidak dapat menyimpang dari bingkainya. Masih terdapat sistem-sistem hukum lainnya yang berada dalam bingkai tersebut, yaitu sistem hukum adat dan sistem hukum Barat (Eropa Kontinental dan Anglo Sekson). Oleh karena itu, sebagai mayoritas, hukum Islam merupakan salah satu sistem hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Indonesia (Aziziy 2002: 110).

Untuk memperkokoh eksistensi hukum mayoritas diperlukan lembaga yang kokoh dan berwibawa. Dalam konteks legislatif, eksekutif dan yudikatif, umat Islam bukan duduk dan berdiri menjadi penonton dalam pembentukan dan pengembangan hukum nasional, melainkan harus "berolahraga" menjadi pemain dalam proses pembentukan dan pengembangan tersebut. Kontribusi umat Islam dalam menguasai "mesin hukum", pengatur kebijakan publik yang legitimate serta menjalankan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara merupakan pertanggungjawaban moral terhadap penduduk mayoritas.

 Umat Islam harus berjuang secara terencana dan sistematik untuk mengisi pembangunan hukum nasional masa depan. Juga membangun fundamen yang kokoh dalam kebijakan politik hukum (Aziziy 2002: 110). Dengan berlandaskan politik hukum tersebut dapat direncanakan pula secara prioritas teknis operasional pembentukan substansi undang-undang, baik yang bersifat netral maupun non netral. Di samping itu, dibutuhkan kekuatan lain seperti pembentukan struktur hukum, baik di kalangan eksekutif maupun yudikatif, untuk mendukung pelaksanaan hukum Islam yang akan diciptakan. Tidak kalah pentingnya adalah mempersiapkan kultur hukum masyarakat (GBHN 1993; GBHN 1998) yang berbasis Islam dan yang belum tersentuh syari'at Islam. Mempersiapkan kultur hukum yang bernuansa Islam akan lebih mempercepat lahirnya kesadaran hukum untuk mematuhi dan melaksanakan syari'at Islam.

daftar pustaka :  

 abdul Hadi & shofyan hasan. (2016).Pengaruh hukum islam dalam Pengembangan  hukum di  Indonesia.hukum islam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun