Mohon tunggu...
Tatang  Hidayat
Tatang Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Student Rihlah Indonesia

Tatang Hidayat, bergiat di Student Rihlah Indonesia. Ia mulai menulis sejak SD, ketika masa SMK ia diamanahi menjadi pimpinan redaksi buletin yang ada di sekolahnya. Sejak masuk kuliah, ia mulai serius mendalami dunia tulis menulis. Beberapa tulisannya di muat diberbagai jurnal terakreditasi dan terindeks internasional, buku, media cetak maupun online. Ia telah menerbitkan buku solo, buku antologi dan bertindak sebagai editor buku dan Handling Editor Islamic Research: The International Journal of Islamic Civilization Studies. Selain menulis, ia aktif melakukan jelajah heritage ke daerah-daerah di Indonesia, saat ini ia telah mengunjungi sekurang-kurangnya 120 kab/kota di Indonesia. Di sisi lain, ia pun telah melakukan jelajah heritage ke Singapura, Malaysia dan Thailand. Penulis bisa di hubungi melalui E-mail tatangmushabhidayat31@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Hari Pertama di Lombok NTB: Mengenal Asal Muasal Pulau Seribu Masjid dan Makanan Khasnya

24 Juli 2021   10:12 Diperbarui: 24 Juli 2021   10:52 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Hubbul Wathan Islamic Centre (Dokumentasi Pribadi)

Tak ketinggalan pagi itu ditemani juga dengan lumba lumba yang meliak liuk mendekati kapal seolah ia menari-nari mengikuti irama mesin kapal itu. Sungguh sebaik baik matahari terbit adalah pada hari Jum'at, sempurna sudah pagi itu.

Ketika menikmati indahnya kekuasaan Sang Pencipta,  perut saya mulai keroncongan, cacing-cacing di perut sudah berdemo hehe segera saya ambil makanan yang disediakan oleh  awak kapal, meskipun tidak banyak, tetapi makanan itu setidaknya mampu membuatku menegakan badan untuk melakukan berbagai aktivitas sembari menikmati hangatnya sinar matahari dan indahnya hamparan lautan ibu pertiwi. Kegiatan pagi itu saya isi dengan berbagai aktivitas, berjemur, olahraga ringan, ngobrol dengan penumpang lain, menikmati keindahan laut Indonesia tengah, melihat gunung Agung yang di pulau Bali terlihat jelas dari kapal, dan tak terasa waktu shalat Jum'at akan segera tiba, sehingga saya segera mengambil air wudhu dan tampak sudah banyak para penumpang mengantri untuk sama-sama melaksanakan shalat Jum'at, meskipun fasilitas tempat wudhu dan toiletnya mengecewakan karena nampak airnya tersendat sehingga membanjiri tempat wudhu.

Memang benar apa yang disampaikan Ahmad Yunus dalam buku Meraba Indonesia Ekspedisi Gila Keliling Nusantara (2011:108) bahwa republik ini tak mampu menyediakan sebuah kapal yang nyaman dan bersih. Sekaligus aman. Banyak kasus kecelakaan akibat kapal penumpang tenggelam. Jika kapal sedang banyak muatan, alamak! Mendadak geladak kapal seperti pasar. Tua-muda, laki-perempuan, anak-anak hingga bayi mungil berserakan macam ikan pindang. Berdesakan dan berebut tempat. Geladak juga disesaki barang bawaan penumpang.

Tentu yang paling memprihatinkan adalah kondisi perempuan, baik muda maupun tua, ibu menyusui dan anak-anak. Mereka tak punya tempat khusus. Mulai dari toilet, kamar mandi, hingga tempat untuk merebahkan badan. Mereka juga sulit naik-turun ke aras geladak. Tingginya sekitar satu meter dan sempit. Sisi kiri kanan badan kapal dibatasi pagar besi. Kalau tak hati-hati bisa terkilir atau jatuh ke laut. Jalan sempit ini jug kotor penuh sampah. Terkadang licin akibat muntah penumpang (Ahmad Yunus, 2011:108-109).

Terlepas dengan segala kekurangan transportasi laut yang ada di republik ini, saat itu saya diperlihatkan sebuah tontonan yang menakjubkan, meskipun dalam keadaan safar dan berada di atas laut, tidak menyurutkan para jama'ah untuk sama sama melaksanakan shalat Jum'at berjama'ah bahkan sampai ruangan utama mushola tidak cukup sehingga jama'ah membludak ke luar ruangan dan memenuhi setiap lorong kapal itu. Khatib kala itu menyampaikan beberapa wasiat kepada jama'ah salah satunya yang tidak ketinggalan adalah wasiat takwa. Pasca shalat Jum'at, saya langsung melaksanakan shalat Ashar jama takdim qashar, kemudian saya sempat beristirahat sebentar siang itu.

Setelah sekian lama perjalanan hampir satu hari satu malam semenjak senja kemarin kapal meninggalkan pelabuhan Tanjung Perak, sore itu saya mulai bisa melihat daratan di ujung sana, tidak terasa kapal yang saya naiki akan segera berlabuh di pelabuhan lembar, ya pelabuhan Lombok. Saat menuju Pelabuhan Lembar, saya kembali dipertontonkan sebuah pemandahan indah cerahnya sore itu, langit terhampar berwarna biru cerah dan dihiasi awan putih melengkapi indahnya langit kala itu, Seolah alam hari itu merestui kedatangan saya untuk berkunjung ke negeri 1000 masjid.

Pasca bongkaran, saya segera menuju tempat penginapan di Kota Mataram untuk sejenak beristirahat sembari mempersiapan untuk presentasi besok hari. Oh ia, dari pelabuhan lembar teman-teman bisa menuju kota Mataram dengan berbagai macam alat transportasi seperti taksi, atau transportasi online.

Sepanjang perjalanan, selain diisi dengan diskusi bersama sopir berkaitan dengan Lombok dan peristiwa gempa yang terjadi sebelum saya datang ke Lombok kala itu, mata saya dimanjakan dengan deretean masjid-masjid di samping kanan dan kiri jalan dengan arsitek yang sangat mewah, ya Lombok dijuluki dengan negeri 1000 masjid, karena memang masjidnya sangat banyak. Jarak antara satu masjid ke masjid lainnya cukup dekat, bahkan tidak jarang ada dua masjid yang saling berhadap-hadapan.

Dosen Fakultas Seni Rupa Desain, Institut Teknologi Nasional Bandung Taufan Hidjaz merupakan putra Sasak yang memiliki perhatian mendalam perihal catatan sejarah masjid di Lombok. Meski telah bermukim di Bandung, Jawa Barat sejak 70-an, Taufan tak lantas melupakan tanah kelahirannya. Segudang penelitian hingga pendalaman ke lapangan rutin ia lakukan menguliti perjalanan masjid yang sangat erat dengan karakter masyarakat Lombok. Taufan menjelaskan, penyebutan Pulau Seribu Masjid ini bermula dari kunjungan kerja Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Effendi Zarkasih pada 1970. Kala itu, Effendi meresmikan Masjid Jami Cakranegara. Saat meresmikan, Effendi terkesan sekali dengan banyaknya masjid di Lombok (republika.co.id, 22/2/2018).


Taufan menyampaikan, masjid merupakan representasi budaya Sasak di Lombok. Dalam catatannya, terdapat 3.767 mesjid besar dan 5.184 mesjid kecil di 518 desa di Lombok. Artinya, setiap desa di Lombok memiliki lebih dari satu masjid. Taufan menyanyikan, masjid merupakan artefak penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kolektif masyarakat di Lombok dalam semua aspek. Kata Taufan, masjid menjadi tanda bagi keberadaan kolektif masyarakat Sasak, dari tingkatan dusun, desa dan kota sebagai ummat muslim (republika.co.id, 22/2/2018).

Ketika obrolan dari satu bahasan ke bahasan lain dengan sopir, tak terasa akhirnya tempat penginapan saya segera sampai. Setibanya di tempat penginapan, saya disambut baik oleh panitia dan segera diberikan kunci untuk beristirahat sembari mempersiapkan untuk agenda makan malam nanti bersama para presenter lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun