Yogyakarta merupakan salah satu kota bersejarah di Indonesia, di dalamnya tersimpan berbagai peristiwa besar yang mesti terus digali dan dipelajari. Yogyakarta mungkin tidak asing bagi kalangan aktivis pergerakan, karena Yogyakarta merupakan salah satu Kota Pergerakan di Indonesia selain Jakarta dan Bandung. Maka penting sekali bagi kalangan aktivis pergerakan saat ini untuk belajar pergerakan ke Yogyakarta.
Pada hari Ahad, 18 November 2018 menjadi salah satu hari yang bersejarah bagi hidup saya, karena pada hari tersebut  diberikan kesempatan untuk menelusuri dan mempelajari Kota Yogyakarta. Keberangkatan saya ke Yogyakarta salah satunya dalam rangka menghadiri The 1st International Conference on Islamic Guidance and Counseling di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Namun sangat rugi kiranya jika keberangkatan saya ke Yogyakarta tanpa disertai dengan menelusuri berbagai tempat sejarah di kota tersebut.
Saya berangkat pada hari Sabtu, 17 November 2018 tepatnya pukul 15.45 WIB dengan menggunakan kereta api dari Stasiun Kiara Condong Bandung dan tiba di Stasiun Tugu pada hari Ahad, 18 November 2018 pukul 01.00 WIB. Waktu perjalanan yang panjang saya manfaatkan dengan membaca buku karya guru saya sendiri yakni Dr. KH. Aam Abdussalam, M. Pd. dengan judul Pembelajaran dalam Islam : Konsep Ta'lim dalam Al-Qur`an. Buku tersebut merupakan pemberian langsung dari penulisnya, namun baru saat ini berkesempatan untuk membacanya.
Saat berada di Stasiun Tugu, saya teringat kisah dibalik pemindahan ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Operasi pemindahan ibukota berjalan secara rahasia dan menggunakan kereta api pada 3 Januari 1946 tengah malam. Jalur yang dilalui Soekarno berserta rombongan yakni dari Pegangsaan Timur - Manggarai - Jatinegara - Bekasi - Cikampek - Cirebon - Purwokerto - Kroya - Kutoarjo - Yogyakarta.
Saat tiba di stasiun Tugu, rombongan dijemput langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Sri Pakualam VIII, Panglima TKRJenderal Soedirman, para pejabat tinggi negara yang sudah lebih dahulu berada di Yogyakarta dan segenap rakyat kawula Yogyakarta. Mereka berarak-arakan menuju Gedung Agung melewati Jalan Malioboro. Saat saya merenung dan meresapi kembali sejarah peristiwa tersebut tentu akan memberikan kesan tersendiri, karena memang sedang berada di tempatnya.
Saat matahari mulai naik, saya segera bergegas menuju Alun-Alun Yogyakarta, tempat dimana di sana mengandung sejarah dengan adanya Kraton Yogyakarta dan Masjid Gedhe Kauman. Saya menyempatkan singgah di Masjid Gedhe Kauman, masjidyang  dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat (penghulu kraton pertama) dan Kyai Wiryokusumo sebagai arsiteknya. Masjid ini dibangun pada hari AhadWage, 29 Mei1773 M atau 6 Robi'ul Akhir 1187 H.
Setelah dari Masjid Gedhe Kauman, saya melanjutkan perjalanan ke Kraton Yogyakarta. Saat pertama masuk ke dalamnya nampak suasana Kraton masih asri dengan masih adanya pohon beringin, angin yang sepoi-sepoi diiringi kicauan suara burung seolah ingin memberikan pesan bahwa masyarakat Yogyakarta memang terkenal dengan masyarakat yang ramah.
Sementara itu yang menjadi daya tarik saya berkunjung ke Kraton tidak lepas dari ingin menelusuri pengakuan Sri Sultan Hamengkubuwono X tentang Hubungan Kraton Yogyakarta dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki, berdasarkan pidato Sri Sultan Hamengkubuwono X pada pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia ke 6 pada 9 Februari 2015 di Yogyakarta
"Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah (sultan Demak pertama) sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki" ungkapnya.
Selama di Kraton saya banyak mempelajari berbagai sejarah berdasarkan bukti peninggalannya, namun untuk bendera yang saya cari ternyata merupakan benda pusaka yang tidak diperlihatkan secara umum. Namun apa yang saya dapatkan dari Kraton sudah lebih dari cukup yang menjadi bukti bahwa Kraton Yogyakarta memang merupakan kesultanan wakil Kekhalifahan Turki.
Setelah dari Kraton, saya melanjutkan perajalanan ke Makam Pahlawan Islam Jang Utama, Guru Bangsa, Raja tanpa Mahkota yakni Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. beliau merupakan seorang pemimpin organisasi Sarekat Islam (SI). Tokoh yang lebih dikenal dengan H.O.S Tjokroaminoto ini Lahir di Tegal Sari, Ponorogo, Jawa Timur pada 16 Agustus 1882 dan Ia wafat pada 17 Desember 1934 di Yogyakarta.