Syahdu wangi bumi Siliwangi, Utara Bandung Raya. Tampak jelas bercemerlang UPI Universitas Pendidikan Indonesia. Rentang riwayatmu berirama warna, pelangi menghias nusa nusantara bumi tercinta. Tinggi mulia citra UPI kita candradimuka jiwa, daya insan berilmu beriman jadi warga wira utama. Pencerah masa depan bangsa Indonesia, bimbingan Illahi serta semoga damba kami nyata.
Lirik di atas mungkin tidak asing lagi bagi mahasiswa UPI, lirik yang memiliki kesan tersendiri bagi setiap mahasiswa UPI, baik saat pertama mendengarnya ataupun saat terakhir mendengarkannya ketika menyandang status mahasiswa UPI dalam prosesi wisuda. UPI pastinya akan selalu dikenang bagi setiap mahasiswanya, karena di dalamnya ada perasaan yang terlibat dalam setiap perjuangannya.
Bersyukur saat ini saya masih diberi kesempatan untuk beralmamaterkan kampus basis pendidikan yang berpusat di bumi siliwangi, kampus yang memiliki moto religius, ilmiah dan edukatif. Tentu moto tersebut tidak terlahir dengan sebuah proses yang instan, namun itu memerlukan perjuangan yang sangat panjang dari masa ke masa.
Kampus UPI yang religius kita rasakan saat ini, tidak terlepas dari perjuangan para aktivis mahasiswa Islam dan peran dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) yang memiliki kesadaran dalam membangun kampus yang religius. Pada usianya yang ke 64 tahun ini 2018, kampus UPI telah melahirkan banyak tokoh dan aktivis Islam yang telah memberikan kontribusi dalam membangun negeri. Itu semua tidak terlepas dari para aktivis sebelumnya yang telah mewariskan nyawa perjuangan secara turun temurun.
Peran aktivis dan dosen PAI yang memiliki kesadaran, Ghirah Islamiyah dan Ruhul Jihad dalam mewujudkan kampus religius seperti saat ini begitu terasa jasanya, terutama dalam kehidupan keagamaan di UPI dan implementasi Pelaksanaan Kuliah PAI yang memiliki perbedaan dengan kampus lainnya di seluruh Indonesia.
Pelaksanaan mata kuliah PAI 4 SKS di UPI, ditambah harus hadir ke Masjid dalam mengikuti kegiatan Tutorial dan Seminar Pendidikan Agama Islam setiap pekannya, hal tersebut merupakan perjuangan panjang dari para aktivis, terutama peran Dosen  PAI yang memiliki kesadaran yang telah berjuang dengan gigih untuk mewujudkan lingkungan kampus yang religius.
Saya sangat kagum ketika mendengar kilas balik ke belakang bagaimana gigihnya perjuangan para aktivis dan dosen PAI dalam mewujudkan kampus yang religius ini, sebagaimana yang sering disampaikan dosen saya terutama ayahanda Drs. Toto Suryana, M. Pd. Dan Prof. Dr. Syahidin, M. Pd. dalam setiap diskusi yang dilakukan.
Kilas balik awal mula berdirinya, UPI merupakan salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di Jawa Barat. UPI berdiri pada 20 Oktober 1954, yang diresmikan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran Mr. Mohammad Yamin dengan nama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). Pada 1963, UPI berganti nama menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung.
Kemudian saat IKIP-IKIP lain di seluruh Indonesia berganti nama menjadi Universitas Negeri sesuai dengan nama kota di mana lembaga itu berada, IKIP Bandung tampak tetap ingin menunjukkan jati dirinya sebagai perguruan tinggi yang tetap konsisten berkiprah dalam bidang pendidikan dengan tugas dan peran meningkatkan martabat bangsa melalui bidang pendidikan, maka perubahan namanya berbeda dengan IKIP-IKIP lainnya. Pada Oktober 1999 IKIP Bandung berganti nama menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Dalam sejarahnya, PAI sebagai mata kuliah wajib di UPI, secara formal mulai dilaksanakan pada 1963 sejak UPI bernama IKIP Bandung. Pengelolaan kurikulum saat itu diserahkan sepenuhnya kepada para dosen IKIP dari berbagai jurusan yang mempunyai perhatian terhadap kehidupan keagamaan di lingkungan kampus.
Mata kuliah PAI pada mulanya dinamai mata kuliah Filsafat Ketuhanan Yang Maha Esa, diberikan hanya satu semester dengan dua jam per minggu. Dosennya diambil dari Universitas Padjadjaran dan beberapa kiai di pesantren, dibantu oleh para dosen IKIP yang mempunyai latar belakang pendidikan pesantren atau madrasah. Mereka berstatus sebagai asisten dosen PAI.