Posisi utang pemerintah akhir 2020 diprakirakan Rp6.203 T (berdasar Perpres 72), rasionya atas PDB adalah 37,84%.
Besarnya utang tersebut adalah konsekuensi dari penyusunan RAPBN 20219 yang merencanakan defisit Rp.971,2 triliun atau sebesar 5.5% dari PDB.Â
Dimasa normal, defisit APBN maksimal hanya 3% PDB untuk menjaga keuangan negara yang berkesinambungan. Defisit yang terus menerus diatas 3% menyebabkan keuangan negara tidak berkesinambungan dan dapat menimbulkan persoalan kredibilitas di masa depan.
TIM EKONOMI BINGUNG
RAPBN 2021 yang tidak memiliki tema tunggal terkait penanganan kelesuan ekonomi akibat COVID19 menunjukan tim ekonomi sedang bingung. Bukannya membuat roadmap untuk pemulihan dunia usaha, pemerintah malah menggunakan dual approch kepada fungsi pertahanan dan ketertiban-keamanan. Isu pertahanan dan ketertiban seharusnya bukan prioritas disaat COVID19 masih merupakan ancaman besar bagi kesehatan dan pemulihan ekonomi.
Upaya pemulihan ekonomi kuartal III 2020 oleh Pemerintah masih membuat dunia usaha ragu utamanya karena realisasi APBN 2020 masih sangat rendah. Tercatat sampai Agustus 2020 berdasarkan data Kementerian Keuangan daya serap APBN 2020 masih 48% dari pagu yang idealnya mencapai 62%.
KESIMPULAN.Â
Melihat anatomi RAPBN 2021 yang menaikan signifikan anggaran fungsi pertahanan dan ketertiban-keamanan tanpa melihat bagaimana kinerja pemulihan ekonomi berjalan 2020 yang ditandai lemahnya daya serap APBN 2020, ditambah dengan penurunan insentif pajak untuk 2021 maka RAPBN 2021 belum cukup mampu mendukung pertumbuhan ekonomi 5.5% dan memulihkan ekonomi sebagaimana yang diharapkan dunia usaha dan masyarakat luas.