Mohon tunggu...
Muhammad Hidayat Dwi Oktara
Muhammad Hidayat Dwi Oktara Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku menulis bukan untuk menjadi terkenal. Aku hanya ikin dikenal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tujuh Keuntungan Menikah di Usia Ideal dalam Meraih Masa Depan Cemerlang

30 Agustus 2016   17:07 Diperbarui: 30 Agustus 2016   22:58 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernikahan bukanlah sekadar kata yang disematkan pada unggahan romantisme foto-foto mempelai. Pernikahan bukanlah permainan, menggebu ketika diinginkan, menghancurkan ruhnya ketika sudah dilanda bosan. Pernikahan juga berarti penyatuan dua insan religius yang sepemahaman. Ia berlaku universal dan bersifat sakral.

Nikah, terlihat sederhana namun tidak sesederhana yang kebanyakan orang asumsikan. Kesakralan sebuah pernikahan membuat berbagai elemen dalam komunitas yang terikat suatu teritorial memberikan banyak perhatian. Katakanlah saja negara tercinta, Indonesia. Pernikahan di negeri ini sudah sangat jelas dilegalisasi oleh Undang-

Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa." Kesakralan definisi tersebut membuktikan bahwa pernikahan pada hakikatnya haruslah dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kecakapan dalam hukum. Artinya, mereka harus mengerti secara pasti tentang seluk beluk sebuah pernikahan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk pergi ke penghulu.

Berbicara masalah kecakapan hukum dalam pernikahan, negara kita secara jelas juga memberikan aturan dalam hal tersebut. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional bekerja sama dengan Badan Penasihat Perkawinan dan Perceraian Kementerian Agama telah mengeluarkan kebijakan bahwa usia minimal pernikahan untuk perempuan adalah 21 tahun dan untuk laki-laki 25 tahun.

Pada kenyataanya, misi luhur yang tertera dalam kebijakan tersebut belum sepenuhnya berjalan sesuai rencana. Menurut data Penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, angka pernikahan dini di Indonesia menduduki peringkat kedua di Asia Tenggara. Dijelaskan bahwa 2 dari 7,3 juta perempuan Indonesia di bawah usia 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Diperkirakan, jumlah tersebut akan meningkat menjadi 3 juta pada tahun 2030. Fenomena pernikahan dini dengan gamblang telah menyalahi konstitusi. Dengan tegas Undang-Undang Perlindungan Anak menetapkan bahwa mereka yang belum berumur 18 tahun, termasuk kategori anak di dalam kandungan. Itu artinya, batas usia dewasa adalah 18 tahun ke atas. Mirisnya, kita juga dibuat prihatin dengan data Kementerian Agama yang menyatakan bahwa angka perceraian yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2010 hingga 2015 meningkat sebanyak 59-80 persen.

Usia yang ideal sangat berpengaruh terhadap kualitas segala keputusan. Di usia yang ideal, manusia normal akan memiliki kekayaan kognisi, kecerdasan afeksi maupun kebijakan psikomotori. Di usia yang ideal, kita bisa menghasilkan segala keputusan yang ideal. Idealnya, di rentang usia 18 hingga 25 tahun seseorang dituntut telah cakap dalam segala hal. Oleh karena itu, output ideal para pemilik usia ideal tersebut adalah melekatnya kematangan dalam segala hal, baik fisik, psikis, maupun religius.

Sebagai salah satu calon pelaku pernikahan, saya sangat mendukung penuh akan ide nikah di usia ideal. Bukan tanpa alasan saya mengiyakan wacana tersebut, karena memang menikah di usia ideal memiliki banyak keunggulan. Dari segi kesehatan, di usia ideal antara 21 hingga 35 tahun sistem reproduksi manusia telah mencapai periode yang matang. Oleh karena itu, pada usia tersebut resiko gangguan kesehatan pada ibu hamil sangat rendah. 

Dari segi kematangan berpikir, kita memperoleh banyak keunggulan di usia ideal. Di usia tersebut, ide-ide, cara pemecahan masalah, hingga penarikan sebuah kesimpulan dalam mengahadapi sebuah masalah memiliki peluang yang sangat besar untuk dapat diselesaikan. Di usia ideal, pemahaman religius lebih integral. Mengapa demikian? Kematangan berpikir di usia ideal memiliki korelasi dengan kematangan emosional maupun kecakapan dalam memahami ajaran agama Tuhan. Pemahaman luas akan ajaran agama dapat menuntun kita untuk memahami kesakralan sebuah pernikahan.

Ketika emosional telah matang, maka setiap persoalan yang muncul pasca pernikahan akan senantiasa terjawab dengan tuntas setelah melalui berbagai pertimbangan. Itu sudah pasti. Ketika emosional telah mapan, maka perceraian bisa disanggah dengan lantang. Di usia yang ideal, para calon pelaku nikah sudah bisa memilih dan memilah. Ketika usia telah ideal, maka para pelaku nikah usia ideal telah memahami arti "kekal".

Saya optimis bahwa masa depan yang cemerlang akan dapat diraih ketika menikah di usia ideal dilakukan. Masa depan cemerlang tidak harus diawali dengan kondisi ekonomi yang serba kecukupan. Masa depan cemerlang akan mudah diraih ketika daya pikir dan emosional telah matang. Ketika mereka telah matang, tanggung jawab sebagai pelaku nikah usia ideal akan selalu datang. Dengan menikah di usia matang dan aktif, tanggung jawab untuk menafkahi keluarga tidak akan menjadi hal yang fiktif. Kematangan berpikir di usia ideal membuat kita lupa akan kegiatan yang hanya berbau kesenangan.

Kita tidak bisa duduk berpangku tangan menunggu usia ideal datang. Keidealan segala sesuatu di usia ideal dapat kita raih setelah melalui berbagai persiapan dan eksekusi yang matang. Untuk menjadi pribadi-pribadi yang ideal ketika usianya nanti, kita perlu mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin. 

Kita harus berusaha untuk melengkapi hal-hal yang belum kita miliki, lagi dan lagi. Persiapan-persiapan tersebut yaitu (1) meraih standar pendidikan setinggi mungkin, (2) menjauhkan diri dari pemahaman ajaran agama secara parsial, (3) meningkatkan kemampuan kecakapan diri baik di lingkungan akademis maupun sosial, (4) melatih kematangan emosional dengan cara memupuk sifat-sifat positif dalam diri, (5) mempelajari segala hal tentang keluarga beserta segala sesuatu yang mengikutinya, dan (6) menyiapkan seluruh kebutuhan untuk meminang calon pasangan. Selain itu, urgenitas yang perlu menjadi prioritas bagi pelaku calon nikah usia ideal adalah mencari pasangan yang tepat dan ideal. Dengan begitu, tidak akan terjadi tumpang tindih persepsi maupun kepentingan saat pernikahan dilakukan. Kedua pasangan perlu memiliki misi yang sama untuk menyatukan persepsi jangka panjang agar selalu tercipta atmosfer saling melengkapi dan saling memahami.

Percayalah, dengan menikah di usia ideal masa depan yang ideal akan mudah untuk direalisasikan. Pernyataan tersebut cukup beralasan. Pertama, peluang kematian ibu dan kondisi kelahiran bayi prematur atau cacat sangat kecil. Sekali lagi, di usia ideal kondisi reproduksi wanita sudah sangat matang. Kedua, peristiwa KDRT sulit untuk dilakukan. KDRT yang sering terjadi memiliki relevansi dengan tingkat kematangan emosional dan berpikir para pelaku. 

Dengan kondisi emosional dan berpikir yang matang, para pelaku nikah usia ideal selalu cerdas dalam menyelesaikan berbagai masalah di dalam rumah tangganya. Ketiga, Drop Out dan lama sekolah rendah yang sering dialami oleh anak hasil pernikahan dini tidak akan terjadi. Hal tersebut sangat masuk akal. 

Orang tua yang menikah di usia ideal mampu mendidik anak mereka dengan sebaik mungkin. Dengan kematangan yang dimilikinya, orang tua yang menikah di usia ideal mampu membimbing anak mereka untuk menjadi anak cerdas yang sesuai dengan kebutuhan dunia pendidikan. Orang tua juga memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam mencukupi kebutuhan pendidikan anak. Kondisi rahim yang matang bagi wanita di usia ideal, memiliki peluang besar untuk menghasilkan bibit-bibit unggul yang sesuai dengan harapan. Keempat, angka perceraian akan berkurang. Menikah di usia ideal akan membuat para pelakunya memiliki keunggulan dalam memahami kata "kekal" yang ada dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan. Pernikahan bukanlah permainan yang menciptakan rasa bosan, tetapi sebuah peristiwa sakral yang harus terus dipelihara agar selalu kekal. Kelima,subordinasi keluarga minim terjadi. Kedua calon mempelai yang memiliki usia ideal sudah tentu memiliki pandangan yang luas tentang bagaimana peran yang sesungguhnya antara laki-laki dan perempuan. Mereka mampu melawan berbagai macam paradoks yang selama ini berkembang di tengah masyarakat. 

Menikah di usia ideal dapat menjauhkan sebuah keluarga dari pikiran kolot tentang peran dalam kehidupan rumah tangga yang umumnya masih salah di tengah masyarakat kita. Pendangan tentang peran perempuan hanya sebatas urusan domestik atau reproduksi dan laki-laki dalam urusan publik atau produksi akan bisa diatasi. Keenam,Hak Kespro tinggi. Dengan kematangan tingkat berpikir yang dimiliki oleh pasangan nikah usia muda, maka pemahaman mereka tentang Kespro sangat komprehensif sehingga hak-hak akan hal tersebut senantiasa berjalan dengan lancar dan pasti. Ketujuh, masa depan cemerlang. Kematangan berpikir di usia ideal membuat para pelaku selalu berpikir dan terus berpikir bagaimana meraih masa depan cemerlang. Mereka akan terus berusaha melakukan yang terbaik agar keluarga yang dibentuknya terus berada pada tingkat kewajaran. Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki oleh pasangan di usia ideal, maka muara akhir masa depan yang cemerlang akan semakin dekat di genggaman tangan.

https://www.facebook.com/muhammad.oktara

https://twitter.com/Oktara_Dw

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun