Mohon tunggu...
Mohamad Hidayat Muhtar
Mohamad Hidayat Muhtar Mohon Tunggu... Dosen - MENULIS ADALAH CANDU BAGI SAYA

"MENULIS ADALAH BEKERJA UNTUK KEABADIAN" PRAMOEDYA ANANTA TOER

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat Terbuka Menolak Revisi UU MD3

15 Februari 2018   00:44 Diperbarui: 15 Februari 2018   03:13 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari senin tanggal 12 februari tahun 2018 merupakan hari mundurnya demokrasi dan kebebasan berpendapat di indonesia hal ini di tandai dengan disahkanya UU MD3 oleh DPR yang katanya sebagai wakil rakyat itu tetapi dalam revisi tersebut DPR menjadi sebuah lembaga negara yang istimewa dan sensitif, mengapa istimewa dan sensistif? Istimewa karena dalam aspek penegakan hukum proses pemeriksaan harus melalui Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) selanjutnya harus mendapatkan ijin dari presiden dan sensitif karena DPR anti Kritik.

UU MD3 yang prinsipnya mengatur tentang kedudukan, fungsi dan tugas dari MPR, DPR, DPD dan DPRD hanya dijadikan benteng perlindungan yang di desain untuk susah di tembus karena ingin melindungi gajah-gajah besar yang sedang bermain dengan tikus-tikus yang sibuk mencari mangsa dengan melewati gorong-gorong kecil yang gelap dan busuk.

Tulisan ini di maksudkan sebagai kritikan terbuka atas revisi UU MD3 yang menurut hemat penulis syarat akan kepentingan tertentu. Ada beberapa hal yang harus di perhatikan dari revisi UU MD3 ini antara lain:

  • Pasal 15 : Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 7 (tujuh) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.
  • Penulis berpendapat bahwa susunan pimpinan MPR yang berjumlah genap berpotensi membuat keputusan pimpinan MPR berakhir deadlock karena berjumlah Genap yaitu 8 orang padahal dalam pengambilan keputusan jumlah pimpinan haruslah ganjil agar menghindari terjadinya deadlock dalam pengambilan keputusan.
  • Pasal 73 ayat 4 : "Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia."
  • Penulis berpendapat pasal ini syarat akan kepentingan politik karena DPR punya wewenang penuh untuk memangil siapa saja yang di rasakan tidak dapat bekerjasama atau melanggar UU dengan DPR sebenarya pasal ini efektif dalam bidang pengawasan akan tetapi yang menjadi problem adalah objektifitas pemangilan karena rawan terjadinya kepentingan politik kelompok atau individu.
  • Pasal 122 huruf K : Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
  • Penulis berpendapat pasal ini sangat rawan di gunakan sebagai pasal anti kritik terhadap anggota DPR karena nomenklatur pasal ini dapat di tafsirkan secara luas oleh DPR contohnya ketika terjadi demo mengktirik DPR dengan cara membakar salah satu foto anggota DPR ataupun menulis dengan nada menyindir DPR dan anggota DPR apakah bisa di hukum? Pasti bisa di hukum kembali lagi di bahasa yang di gunakan yaitu LANGKAH HUKUM, MERENDAHKAN KEHORMATAN DPR DAN ANGGOTA DPR. Ketika itu terjadi berarti segala bentuk kritikan DILARANG karena isi kritikan bukan sebuah PUJIAN.
  • Pasal 245 : "Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan".
  • Penulis berpendapat pasal ini sebagai upaya imunitas yang berlebihan bagi anggota DPR. Apakah anggota DPR terbebas dari asas hukum Equality before the law (persamaan di hadapan hukum)? apakah dari aspek penegakan hukum DPR di istimewakan dengan harus meminta ijin kepada MKD dan presiden dengan alasan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas? nomenklatur ini tidak dapat di benarkan dengan alasan apapun kalaupun di benarkan secara logika sederhana berarti seluruh anggota  lembaga-lembaga negara dapat beralasan demikian seperti yang dilakukan oleh DPR. Ditambah lagi masih adanya anggota DPR yang masuk lingkaran korupsi pastinya dengan pasal ini makin menyulitkan penegak hukum dalam pemberantasan korupsi di tubuh DPR

            Beberapa pasal yang di jelaskan di atas sudah cukup untuk membuktikan bahwa revisi UU MD3 tidak sesuai dengan cita cita luhur bangsa dan semangat alam demokrasi serta melukai rakyat yang telah memberikan amanah kepada anggota DPR bagaimana mungkin reformasi yang telah di perjuangkan tahun 1998 untuk terlepas dari alam otoriter menuju alam demokrasi yang menjunjung tinggi kekuasaan.

 rakyat harus berjalan mundur kembali di saat kebebasan berpendapat dan supermasi hukum tunduk terhadap penguasa dengan tetap berjalanya UU MD3 hasil revisi ini di takutkan agar mereduksi kebebasan berpendapat dan penegakan hukum di indonesia dengan masih banyak hal yang perlu di benahi dari DPR dari segi kinerja, kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dan masih adanya pihak-pihak angota DPR yang dekat lingkaran Korupsi, perlu adanya inisiatif moril dari masyarakat agar ikut menolak Revisi UU MD3

            Teringat apa yang pernah dikatakan oleh wiji thukul yang mengatakan  "Apabila usul ditolak tanpa ditimbang Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan Dituduh subversif dan mengganggu keamanan Maka hanya ada satu kata: LAWAN!."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun