Di balik setiap pencapaian, tersimpan kisah perjuangan yang tidak selalu mudah. Terkadang, jalan menuju impian tidak selalu lurus dan mulus. Ada yang harus jatuh dan bangkit berulang kali, ada pula yang harus menelan pil pahit sebelum akhirnya memetik manisnya keberhasilan. Begitulah kisah seorang pemuda bernama Muhammad Alfin Fathul Barik, atau yang akrab disapa Alfin, teman saya semasa di pondok pesantren saat masa SMA.
Alfin bukanlah siswa yang penuh sorotan, bukan pula yang sering tampil mencolok di antara keramaian. Tapi satu hal yang membuatnya istimewa adalah kerajinannya yang luar biasa dan kegigihannya dalam belajar, terutama dalam mewujudkan satu mimpi besar yang sejak lama ia genggam erat, masuk ke kampus impian.
Sejak kelas akhir SMA, ia sudah menunjukkan keseriusannya terhadap masa depan. Ia mulai merancang langkah, mencatat kemungkinan, dan membagi waktu antara dunia pesantren dan dunia akademik. Di tengah keterbatasan fasilitas dan waktu luang yang sempit, Alfin menata ulang ritme hidupnya agar semua berjalan berdampingan, kehidupan sebagai santri dan perjuangan sebagai calon mahasiswa.
SNBP datang sebagai pintu pertama. Ia mencobanya dengan harapan besar. Namun, sebagaimana banyak cerita yang dimulai dengan kegagalan, nama Alfin tak muncul dalam daftar lolos. Tidak ada air mata yang tumpah saat itu, tidak juga ekspresi kecewa yang meledak-ledak. Ia hanya diam lebih lama dari biasanya dan menghabiskan lebih banyak waktu di musala kecil pondok selepas Isya.
Bagi sebagian orang, kegagalan pada jalur SNBP adalah akhir yang menyakitkan. Namun bagi Alfin, itu hanyalah rambu kecil yang menuntunnya pada arah baru. Ia tidak mengubah tujuannya kampus impiannya tetap sama, Universitas Brawijaya, tapi ia tahu caranya harus berubah.
Ia pun mulai mengisi hari-harinya dengan rutinitas baru. Setiap pagi sebelum subuh, ketika teman-temannya masih bergelung dalam selimut termasuk saya hehe, ia sudah terbangun dan belajar seputar pelajaran yang buat persiapan menjelang SNBT. Satu jam menjelang tidur, ia kembali membuka catatan-catatan kecil yang ia tulis dengan tangan.
Di sela-sela santri lain sibuk menghafal setoran juz 30, ia menyempatkan diri menyelesaikan soal-soal SNBT tahun-tahun sebelumnya. Ia membuat jadwal sendiri dan menepatinya dengan kedisiplinan luar biasa. Bahkan, saat waktu istirahat siang, yang biasanya digunakan santri untuk tidur sebentar, Alfin justru memanfaatkannya untuk merapikan materi atau membaca kembali pelajaran yang belum ia kuasai.
Tidak ada yang menyuruhnya seperti itu. Tidak ada yang mencambuknya dengan target atau ancaman. Ia melakukan semua itu karena dorongan dari dalam dirinya sendiri. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk membuktikan dirinya bukanlah dengan mengeluh atau menyesali kegagalan, tapi dengan bekerja lebih keras daripada siapapun.
Beberapa bulan menjelang SNBT, wajah Alfin mulai tampak letih, tapi tak pernah ia kurangi usaha. Hari-harinya kian padat tetapi semangatnya tak pernah surut. Dalam benaknya, kampus impiannya bukan hanya sekadar tempat menuntut ilmu, tapi juga simbol keberhasilannya menundukkan rasa malas, mengalahkan putus asa, dan menaklukkan keraguan.