"Lebih baik hutang demi iPhone terbaru daripada beli HP Android yang lebih canggih dengan harga separuh" kalimat ini mungkin terdengar familiar di telinga kita. Fenomena ini bukan sekadar anekdot, melainkan cerminan nyata dari pergeseran nilai yang terjadi pada generasi muda Indonesia saat ini.
Ketika Status Sosial Mengalahkan Akal Sehat
Di era digital ini, kita menyaksikan paradoks yang menarik: generasi yang paling terdidik dalam sejarah, namun kerap membuat keputusan konsumtif yang tidak rasional. Anak muda rela menghabiskan gaji tiga bulan untuk membeli tas branded, sementara masih tinggal di rumah orangtua. Mereka memilih cafe aesthetic mahal untuk foto Instagram, ketimbang warteg yang lebih bergizi dan terjangkau.
Mengapa hal ini terjadi?
1. Tekanan Media Sosial yang Tak Terlihat
Media sosial telah menciptakan panggung global dimana setiap orang adalah aktor sekaligus penonton. Instagram, TikTok, dan platform lainnya memaksa anak muda untuk terus "tampil". Sebuah survei menunjukkan bahwa 73% milenial Indonesia mengaku merasa tertekan untuk memposting konten yang membuat mereka terlihat sukses.
"Jika tidak di-post, apakah itu benar-benar terjadi?" mentalitas ini telah mengubah pola konsumsi dari kebutuhan menjadi keinginan untuk dokumentasi.
2. Sindrom FOMO (Fear of Missing Out) yang Kronis
Anak muda hari ini hidup dalam ketakutan konstan akan ketinggalan tren. Mereka lebih takut dianggap "kampungan" atau "kudet" daripada hidup dalam kesulitan finansial. Akibatnya, prioritas bergeser dari investasi jangka panjang (seperti tabungan, pendidikan, atau bisnis) ke konsumsi jangka pendek yang memberikan validasi sosial instan.
3. Pergeseran Definisi "Sukses"