Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ternyata Styrofoam Bukan Musuh Lingkungan Lagi

14 Januari 2016   18:23 Diperbarui: 14 Januari 2016   18:23 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Indonesia, kemasan makanan dibuat dari bahan alami dan sintetis. Daun pisang atau daun jati merupakan dua di antara banyak daun yang dimanfaatkan untuk membungkus makanan. Hmmmm.... sepertinya saya belum pernah menemukan orang membungkus makanan dengan daun cemara atau pinus. Makanan yang dibungkus dengan dedauan biasanya memiliki aroma yang khas dan bisa menarik selera makan. Di beberapa daerah, nasi dibungkus dengan daun jati supaya tidak mudah basi.

[caption caption="http://www.indonesiakaya.com/assets/imagesweb/_images_gallery/nasi-jamblang.jpg"][/caption]

Seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat perkotaan mulai meninggalkan daun sebagai pembungkus makanan. Sebagai gantinya, dipakailah styrofoam. Bahan yang semula dipakai untuk meredam getaran dan goncangan pada kemasan barang elektronik ini memiliki fungsi lain. Dengan berbagai macam pilihan warna, styrofoam juga memungkinkan seseorang mencetak sesuatu di atasnya sehingga menjadi sebuah label yang dapat menjadi sarana promosi. Selain itu, membungkus makanan menggunakan styrofoam tidak memerlukan keahlian khusus seperti halnya membungkus makanan dengan daun.

Permasalahannya, styrofoam tidak cocok untuk makanan yang panas karena reaksi yang ditimbulkan bisa membahayakan konsumen. Selain itu, sudah jamak diketahui bahwa styrofoam tidak ramah lingkungan. Berbagai macam kampanye dilakukan untuk menghindari produk ini. Akankah penggunaan styrofoam untuk makanan berakhir?

Oleh karena penggunaan styrofoam yang sepertinya terus meningkat sedangkan bahan ini juga berbahaya bagi lingkungan, ada inisiatif untuk menemukan formulasi styrofoam yang ramah lingkungan. Paling tidak, itu yang dilakukan oleh Arif Rahmatullah dengan styrofoam berbahan sekam padi. Di belahan bumi yang lain, peneliti membuat styrofoam dari protein susu dan clay.

Tanpa bermaksud untuk membuang percuma hasil penelitian yang telah dilakukan selama ini, artikel ilmiah yang diterbitkan oleh Environmental Science and Technology pada tahun 2015 menyatakan bahwa ada ulat yang bisa memakan styrofoam ini sehingga tidak lagi membahayakan lingkungan.

Ulat yang disebut dengan nama Mealworm ini mampu memakan polystyrene yang merupakan bahan dasar dari styrofoam. Sistem pencernaan mereka akan melakukan proses biodegradasi dan mineralisasi sehingga hasilnya menjadi ramah lingkungan. Penjelasan lebih detil dapat dibaca pada link yang telah disediakan.

[caption caption="http://www.wildmanfoods.org/feralfoods/mealworms"]

[/caption]

Oleh karena saya bukan ahli di bidang biokimia seperti pada peneliti di atas, saya tidak akan membahas lebih dalam tentang penemuan tersebut. Saya ingin masuk pada dampak-dampak yang bisa timbul dari penemuan tersebut:

  1. Jika styrofoam sudah bukan musuh lingkungan lagi, apakah itu berarti produksi dan konsumsi styrofoam akan meningkat? Ini menjadi salah satu pertanyaan di benak saya. Saat styrofoam dianggap musuh lingkungan, tingkat penggunaannya masih dapat dikatakan tinggi. Jadi, dengan penemuan baru ini, sangat besar kemungkinannya produksi dan konsumsi styrofoam akan meningkat.
  2. Jika produksi dan konsumsi styforoam meningkat, maka diperlukan lebih banyak Mealworm untuk melakukan proses biodegradasi dan mineralisasi supaya tidak berbahaya bagi lingkungan. Pertanyaannya adalah berapa banyak Mealworm yang diperlukan untuk melakukan hal itu? Apakah Mealworm yang ada di dunia ini cukup? Jika tidak, apakah itu berarti styrofoam yang belum sempat diproses akan menjadi musuh lingkungan selama beberapa saat? Jika waktu tunggu itu menjadi terlalu lama, bukankah kita akan kembali pada premise awal, yaitu styrofoam adalah musuh lingkungan?
  3. Mealworm biasanya dijadikan makanan hewan. Apakah Mealworm yang telah 'membantu' ini tidak berbahaya bagi hewan lain yang memakannya? Ini juga menarik untuk diketahui dan diteliti lebih lanjut. Bukankah manusia berada di salah satu puncak rantai makanan?

Menurut saya, penemuan ini harus disikapi dengan bijak. Bukan karena styrofoam bukan menjadi ancaman bagi lingkungan terkait dengan kemampuan Mealworm mencernanya, maka kita bisa dengan bebas membuat dan menggunakan styrofoam tanpa memikirkan masa depan dunia kita. Bukankah kita masih berhutang dengan banyak styrofoam yang belum terproses sebelum ditemukannya fakta terbaru tersebut?

Oleh karena itu, saya mengajak kita semua untuk tetap peduli lingkungan dengan membatasi penggunaan produk dari dari styrofoam. Ini adalah salah satu kontribusi yang kita bisa lakukan untuk generasi yang akan datang. Siapa saja bisa melakukan hal ini. Anda tidak perlu menjadi ahli biokimia atau ahli lingkungan. Apa pun profesi dan latar belakang Anda, Anda bisa melakukan sesuatu yang berharga bagi lingkungan.

Salam kompasiana!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun