Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mana yang Lebih Bermanfaat, Gaya Juri sebagai Hakim atau Motivator?

17 November 2018   04:23 Diperbarui: 17 November 2018   09:40 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.yorkmix.com

Apakah ini salah satu cara membentuk seorang chef yang handal? Saya tidak tahu karena saya tidak punya latar belakang sebagai chef. Selain itu, saya juga belum pernah berkarir sebagai chef.

Juri sebagai motivator

Masterchef Australia tampil dengan gaya yang berbeda dari Amerika dan Kanada. Episode yang saya tonton sejak 2013 hingga tahun ini menampilkan sosok juri sebagai motivator. Saat ada peserta yang gagal menyajikan makanan yang dirasa kurang enak, bukan kritik pedas dan kata-kata tajam yang disampaikan. Juri memberikan motivasi dan kritik yang membangkitkan harga diri.

Saya belum pernah mendengar gaya kritik seperti yang ditampilkan di Amerika dan Kanada, juga di Indonesia, selama menyaksikan Masterchef Australia. Juri tampil sebagai teman yang mendukung, bukan sebagai hakim dengan palunya. Juri hadir sebagai motivator buat mereka yang down karena tidak teliti, teledor, dan sebagainya.

Pentutup

Secara pribadi, gaya juri sebagai motivator akan lebih bermanfaat bagi peserta lomba, apa pun lombanya. Peserta akan mendapatkan masukan yang membangun dan itu sangat bermanfaat untuk masa depannya. Juri yang tampil sebagai hakim yang keras, malahan akan menjadi kontra produktif.

Saya menyadari bahwa memang tidak mudah untuk tampil sebagai motivator saat menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Namun, itu adalah tantangan seorang juri. Memang lebih mudah untuk mengriktik dan marah, tetapi apakah kita akan memilih cara yang mudah dan bukan yang benar?

Saya pikir hal ini bisa diterapan juga di sekolah. Apakah guru memilih cara yang mudah saat menjelaskan kepada siswanya yang kurang mampu secara akademik? Ataukah, guru memilih cara yang benar walaupun itu lebih sulit? Apakah hasilnya berbeda? Jelas!

Saya pernah mengajar sebuah mata kuliah di sebuah universitas. Menurut rumor, ini adalah salah satu kuliah tersulit. Anehnya, mereka yang dianggap lemah secara akademik, mampu lulus dari kuliah ini dengan nilai yang di luar nalar, yaitu B+ atau A. Pernah saya mewawancarai mereka-mereka ini. Hasilnya mencengangkan! 

Perasaan dihargai menjadi sebuah motivasi untuk belajar dengan baik. Saya terus mengingatkan diri saya untuk menghargai mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh. Namun ini jangan diartikan saya memberikan mereka bonus nilai. Tidak! Nilai itu murni dari hasil ujian yang mereka kerjakan.

Demikian juga halnya dengan hubungan orangtua dan anak. Hubungan yang dibangun atas dasar motivasi akan menolong anak melihat potensi yang peluang yang ada di depannya. Di sisi lain, hubungan yang dibangun atas dasar penghakiman justru menciptakan generasi yang rapuh dan tidak berani untuk mencoba hal yang baru.

Salam kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun