Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan Buntu di Perjalanan Menuju Kedewasaan Seorang Mahasiswa

28 November 2017   20:27 Diperbarui: 29 November 2017   10:52 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: freetwentyfive.wordpress.com

Banyak jalan menuju sebuah kedewasaan tetapi rupanya jalan yang banyak itu berliku, penuh dengan bebatuan dan tanjakan yang terjal. Namun, bagaimana jika jalan itu buntu? Buntu? Ya! Buntu alias tidak bisa dilewati sama sekali, bahkan dengan mendaki tembok yang besar yang menghalangi perjalanan. Buntu total!

Beberapa orang diantar menjadi pribadi yang dewasa tatkala harus menghadapi tantangan hidup yang berat. Perjuangannya memenangkan pertempuran telah membentuk mentalnya menjadi seorang yang dewasa dan siap untuk mengahadapi tantangan lain yang mungkin lebih berat. 

Orang lain menjadi dewasa ketika dia harus gagal. Sikap menghadapi kegagalan ini akan membentuknya menjadi pribadi yang makin matang. Salah mengambil sikap, misalnya kecewa dan lari dari kenyataan, tidak akan menghasilkan pribadi yang tegar.

Tak perlu disebutkan satu per satu, tetapi kita bisa mendaftar hal apa saja yang memberikan sumbangsih terhadap pembentukan kedewasaan seseorang dan biasanya sedikit, bahkan tidak ada, yang bisa dilewati dengan mudah. Kemauan untuk menghadapi segala kesulitan menjadi modal awal yang baik untuk melangkah menuju pribadi yang dewasa. Hal-hal semacam ini kita bisa sebut sebagai faktor internal.

Dua faktor eksternal yang punya pengaruh kuat adalah kenyamanandan pemaksaan supaya tidak menjadi dewasa. Faktor kenyamanan masih bisa dinalar kalau dikaitkan dengan proses hidup tetapi memangnya ada yang memaksa supaya tidak menjadi dewasa? Koq sepertinya tidak masuk akal ya?

Sebenarnya ini bukan pemikiran baru tetapi pemikiran lama yang baru dimunculkan lagi terkait dengan apa yang dialami oleh salah seorang keponakan saya yang saat ini kuliah di sebuah PTN. Masalah klasik, kehadiran mahasiswa di kelas menjadi tiket masuk ruang ujian. Sejak saya kuliah, mungkin bahkan jauh sebelum saya kuliah, ini adalah bahan pembicaraan umum di kalangan mahasiswa. Rupanya kemajuan jaman tidak menggerus isu yang satu ini dan tetap up to date untuk dibicarakan.

Mengapa pemenuhan prosentase kehadiran dalam kuliah menjadi tiket masuk untuk mengikuti ujian akhir? Jawaban bisa beragam dan saya akan menampilkan beberapa yang cukup menarik:

  • Supaya kelas tidak kosong karena kuliah kurang menarik, tidak populer, dan dianggap tidak penting. Biasanya jenis mata kuliah diasuh oleh Department Mata Kuliah Umum menjadi anggotanya (mohon maaf, saya harus menulis dengan jujur, yang bisa saja menyakiti hati orang lain). Ada juga yang beralasan sungkan dengan dosen tamu yang mau mengajar tetapi ternyata kelasnya kosong terus, jadi lebih baik diberi aturan supaya tetap ada pendengar (baca: bukan pembelajar).
  • Supaya nilai kelulusan kelas tinggi. Yep! Ini salah satu instrumen penting dalam akreditasi, baik prodi maupun institusi. Tingginya prosentase mahasiswa yang tidak lulus dalam sebuah kelas menjadi momok tersendiri bagi institusi karena Badan Akreditasi Nasional (BAN) akan langsung menghakimi bahwa proses belajar tidak berkualitas. Ada anggapan bahwa mahasiswa yang terpaksa masuk, suka atau tidak suka, akan tetap belajar. Saya koq tidak sependapat ya? Bagaimana jika mereka hadir tetapi bikin ribut dan mengganggu yang ingin belajar? Diusir? Salah juga! Kan mereka terpaksa hadir untuk mendapatkan tiket mengikuti ujian? Kembali ke masalah proses belajar yang berkualitas, BAN posisinya berat sebelah karena hanya menekankan pada porsi dosen. Bagaimana mengevaluasi proses belajar mandiri mahasiswa? Ini tidak mudah, dan BAN memilih cara yang mudah, yaitu hasil ujian yang pada akhirnya menentukan prosentase kelulusan. BAN tidak bisa membedakan mana mahassiwa yang tidak lulus karena kualitas pengajaran yang buruk atau karena mahasiswanya tidak pernah belajar.

Faktor seperti inilah yang saat ini menghantui dunia pendidikan tinggi di Indonesia dan mahasiwa mengatasinya dengan cara "titip absen". Sebuah istilah yang salah kaprah, yang sering saya pakai untuk membuat mahasiswa menganalisa dimana letak kesalahannya. Absen berarti tidak hadir, sehingga titip absen menjadi sebuah kegiatan yang tidak bermanfaat. Kan maunya "absen" (tidak hadir), lalu kenapa masih nitip? Ini seperti menitipkan sesuatu yang tidak bisa dititipkan. Kalau mau dibenarkan, seharusnya "titip kehadiran".

Guru SD, jaman saya dulu, selalu mengatakan, "Ayo sekarang kita absen dulu untuk mengetahui siapa yang tidak masuk hari ini." Tidak ada yang salah dengan pernyataan itu, tetapi makna yang ditangkap oleh siswa sebagai "titip absen" adalah "titip angkat tangan pas diabsen". Karena kepanjangan, maka dipersingkat menjadi "titip absen".

https://risepeace.wordpress.com/2014/04/01/apakah-selama-kuliah-boleh-titip-absen/
https://risepeace.wordpress.com/2014/04/01/apakah-selama-kuliah-boleh-titip-absen/
Berkembangnya teknologi telah mendorong cara canggih untuk "titip absen". Bermula dari kiriman gambar via grup WA, saya menemukan sumber gambar tersebut. Memang sistem ini tidak ada, hanya sebuah sindiran kepada mahasiswa yang masih melakukannya. Tetapi, kalau benar-benar ada bagaimana ya? Gambar itu sebenarnya juga menjadi sebuah tamparan bagi perguruan tinggi yang masih menerapkan sistem prosentase kehadiran untuk mendapatkan tiket masuk ujian.

Foto: Facebook/Orlando Senjutsuki, dapat dibuka di https://www.facebook.com/photo.php?fbid=2021839074699080&set=a.1416414355241558.1073741829.100006190206086&type=3
Foto: Facebook/Orlando Senjutsuki, dapat dibuka di https://www.facebook.com/photo.php?fbid=2021839074699080&set=a.1416414355241558.1073741829.100006190206086&type=3
Aturan ini dibuat, menurut saya, tidak dengan mempertimbangkan proses menuju kedewasaan seorang mahasiswa. Mahasiswa seharusnya dilatih untuk menjadi pribadi yang dewasa. Namanya juga MAHAsiswa, bukan sekedar siswa, tapi ada embel-embel "maha" didepannya. Aturan ini dibuat dengan tidak mempertimbangkan mendidik mahasiswa menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Apabila di akhir semester mahasiswa tersebuttidak lulus, maka tidak akan mengevaluasi dirinya dan cenderung mencari kesalahan pihak lain, dalam hal ini dosennya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun