Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dualisme Rokok dan Tembakau di Indonesia

8 Mei 2017   17:49 Diperbarui: 8 Mei 2017   18:12 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www2.jawapos.com/baca/opinidetail/10420/Tren-Dualisme-yang-Menyandera-

Membaca tulisan Kompasianer, Yon Bayu, berjudul "Menteri Susi: Pasal dalam UU Bisa Diorder!" (http://www.kompasiana.com/yonbayu/menteri-susi-pasal-dalam-uu-bisa-diorder_591007f3f096732949fa17b0) mengingatkan saya pada dualisme rokok dan tembakau di Indonesia. Memang tulisan Sdr. Yon tidak fokus pada tembakau, tetapi sentilannya itu membuat saya berpikir bahwa Indonesia tidak memiliki sikap yang jelas terkait dengan rokok dan tembakau.

Rokok adalah salah satu produk yang penjualannya dibatasi, artinya tidak semua orang bisa membeli rokok dan peredaran rokok disertai dengan cukai yang tinggi. Dengan cukai yang tinggi ini, harga rokok otomatis akan ikut terkatrol dan akan membatasi peredarannya. Begitu kira-kira teorinya, menurut saya. Namun, apa yang terjadi justru di luar dugaan. Harga rokok yang tinggi gara-gara cukai yang selangit itu memunculkan peredaran rokok gelap yang justru semakin menyulitkan posisi pemerintah. Penertiban di suatu daerah tidak membuat pelanggar di tempat lain menjadi sadar akan aktivitasnya, melainkan malah mencari celah lain untuk mengamankan dirinya.

Saat pemerintah membahas undang-undang terkait dengan tembakau, muncul protes dari kelompok tertentu yang katanya mewakili masyarakat dan petani tembakau. Pemerintah dianggap tidak memikirkan petani tembakau jika regulasi yang direncanakan itu dijadikan undang-undang. Bagaikan buah simalakama, pemerintah juga sepertinya tidak bisa berbuat apa-apa.

Pada kenyataannya, cukai rokok termasuk salah satu penyumbang terbesar pendapatan negara. Menakjubkan! Mematikan (baca: sangat membatasi) industri rokok memang bisa melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok, terutama perokok pasif, tetapi malah akan memunculkan masalah baru... Hmmm serba membingukan dan penuh dilematis.

Dulu, dalam setiap kemasan rokok diberi tulisan yang panjang, MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN. Pesan ini juga disampaikan dalam iklan di TV tetapi ditampilkan pada sesi terakhir selama kira-kira 1 detik. Bandingkan dengan isi iklan yang bisa mencapai 30 detik, bagian ini bisa dibilang bukan priorias atau tidak penting. Jadi, pesan penting tentang bahaya merokok itu diposisikan sebagai pesan yang tidak penting dari kaca mata iklan! Luar biasa bukan?

Beberapa tahun yang lalu, pesan yang panjang itu dipersingkat menjadi MEROKOK MEMBUNUHMU. Bukan sekedar mendatangkan penyakit, tetapi malah bisa membunuh. Sebuah perubahan yang sangat drastis terkait dengan peringatan bahaya merokok. Selain itu, kalau toh ditampilkan dalam waktu sekitar 1 detik, masih terbaca. Sebuah langkah cerdas mengansitispasi pendeknya durasi tayang bagian tersebut.

Ruang publik juga sudah dibatasi untuk mereka yang merokok. Kalau dulu orang yang tidak merokok malah sungkan dengan para perokok untuk menegur mereka yang merokok sembarangan. Sekarang situasinya sudah lebih baik, artinya kesadaran akan ruang publik yang bebas asap rokok sudah lebih baik. 

Saya setuju dengan kebijakan iklan rokok di TV yang tidak menampilkan perokok sama sekali. Hanya saja memang iklan rokok tetap menampilkan stereotype seorang perokok yang diasosiasikan sebagai pribadi yang tangguh, berani, tanggung jawab, berjiwa besar, dll. Ya... namanya juga stereotype, profil perokok yang selama ini saya temui sangat jauh dari hal-hal yang ditampilkan di iklan. Contoh, orang yang bertanggung jawab tidak akan membeli rokok di saat keluarganya juga membutuhkan uang untuk hal lain. Bahkan di beberapa acara pertemuan warga yang juga menyediakan rokok, ada yang melarang anak muda merokok tetapi dirinya sendiri merokok di depan anak-anak muda itu. Namun, kriteria iklan itu sudah memenuhi persyaratan yang diminta oleh pemerintah.

Generasi muda kita saat ini terpapar iklan rokok bukan saja dari media, tetapi dari berbagai acara yang disponsori oleh rokok. Dalam dunia pemasaran, tidak ada yang salah dengan hal ini. Saya tidak menyalahkan iklan rokok yang tampil di ajang kegiatan anak muda seperti kompetisi olah raga atau konser musik. Kita belum punya regulasi yang jelas terkait dengan hal ini. Beberapa kampus di Indonesia sudah menyatakan dengan jelas bahwa mereka tidak akan menerima iklan dari rokok. Ini sebuah langkah yang luar biasa!

Beberapa tahun tinggal di Oulu, Finlandia, saya belum pernah menyaksikan iklan rokok di TV atau spanduk kegiatan yang disponsori oleh perusahaan rokok. Iklan terkait dengan rokok yang muncul adalah berbagai upaya untuk menghentikan kebiasaan merokok dengan berbagai macam permen dan programnya. Negara ini juga memberlakukan pajak yang tinggi untuk rokok, tetapi setali tiga uang, hasilnya sama saja dengan yang kita alami. Konsumi rokok di kalangan anak muda tetap tinggi, bahkan mereka membeli rokok dari negara lain karena lebih murah. 

Upaya untuk melindungi generasi muda dari paparan iklan rokok sudah dilakukan. Hasilnya memang tidak bisa dibilang bagus. Masih banyak anak muda di Finlandia yang membelanjakan uangnya untuk membeli rokok. Namun, itu bukan berarti tidak perlu dilakukan upaya untuk menghambat konsumsi rokok sama sekali. Bisa jadi, angka ini akan melonjak naik saat tidak ada regulasi sama sekali. Apa yang sudah dilakukan selama ini hanya bisa mengerem laju peningkatan angka itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun