Mohon tunggu...
Miftaahul Jananh
Miftaahul Jananh Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pembaca dan Penanya

Panggil saja saya Mips, saya gemar menuliskan hal-hal aneh yang mungkin bisa dibilang menjadi sebuah kegemaran yang aneh pula. Sangat antusias dalam masalah woman empowerment, pangan, nutrisi, hak asasi manusia, dan buku. Sering mengira dirinya berada di Tokyo, tahun 1970 dengan lagu city pop mengumandang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

GRWF2019: Literasi dan Komunitas

11 Agustus 2019   13:14 Diperbarui: 11 Agustus 2019   13:20 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua hal yang terpisah namun ternyata terpaut adalah Literasi dan komunitas. Literasi menurut saya adalah kemampuan untuk mengekspresi dan menyuarakan isi pikiran. Sedangkan Komunitas adalah sebuah wadah untuk bertukar pikiran dengan orang-orang yang memiliki interest yang sama. Awalnya saya berpikir bahwa dua hal ini benar-benar berbeda. Tapi saya salah.

Saya mengenal literasi-mengenal sastra, berawal dari sebuah komunitas bernama klub buku indonesia (KBI). Di sanalah saya dikenalkan dengam buku-buku yang bahkan sebelumnya saya gak pernah tahu bahwa buku itu ada. Contohnya Ode for Leopold. Pembahasan demi pembahasan buku secara daring pun saya usahakan untuk hadir. Sekedar memuaskan rasa penasaran saya, dan ternyata dari situlah saya mulai menyadari bahwa saya butuh buku.   

Mengikuti forum terbuka pada GWRF 2019 dalam sesi "Menghidupkan Karya Melalui Komunitas Literasi" dengan narasumber Kang Maman dan Firman Venayaksa membuat saya kembali bernostalgia tentang pengalaman saya mencari komunitas tempat saya belajar banyak hal. Di KBI saya dituntun dalam membaca buku. Saya dibimbing untuk tidak hanya membaca buku pada genre tertentu, tapi lahaplah memakan semua genre buku tanpa terkecuali.  

Kang Maman dan Firman memberi kami sebuah percikan semangat untuk terus membangun literasi lewat komunitas. "Tak usah memaksa," katanya. "Mulailah mendekatkan yang jauh, buat orang-orang kenal dengan buku dan mulai dari apa yang kamu suka." Selama diskusi mereka, saya mengangguk-angguk sembari memikirkan sebenarnya apa yang harus saya lakukan selanjutnya. Tingkat literasi di Indonesia memang terkenal rendah, tapi menurut saya masalahnya bukan pada keinginan membaca masyarakat Indonesia yang rendah. Namun terletak pada akses serta exposure tentang buku itu sendiri. Apalagi akhir-akhir ini, semua orang dunia literasi sedang bersedih karena adanya "ban" serta penyitaan paksa buku-buku yang dianggap berbahaya. 

Penyitaan paksa buku-buku tersebut membuat saya meringis. Indonesia yang dikatakan negara demokrasi pancasila, ternyata masih ada saja orang yang merampas hak-hak oranglain untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Memangnya apa salah buku? Mengapa mereka takut buku? Atau apakah dengan itu mereka memberi tahu kita bahwa kekuatan buku amatlah sangat dahsyat. Sehingga buku bisa mengubah seseorang. 

Dari sini saya menyadari bahwa pesan Kang Maman dan Firman untuk menghidupkan literasi amatlah penting. Dan saya berpikir untuk memulai itu semua. Mengajak semua orang untuk membaca, membuat konten-konten yang menarik, dan membiarkan orang-orang berjalan-jalan dalam pikirannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun