Mohon tunggu...
Hetty Oktaviana
Hetty Oktaviana Mohon Tunggu... Freelancer - Hetty Oktaviana, ST, IAP

Urban Planner, Digital Marketing Enthusiast, IG: @hettyoktavianablog

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Respon Perencanan Tata Ruang Terhadap Covid 19 Pada Era New Normal

14 Agustus 2020   13:44 Diperbarui: 14 Agustus 2020   14:40 1770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Respon Perencanaan Tata Ruang Terhadap Covid19 pada Era New Normal

Oleh: Ir. Putu Rudy Satiawan, MSC , IAP*

CO-writer: Hetty Oktaviana. ST, IAP**

Diakhir tahun 2019, dunia digemparkan dengan adanya pemberitaan wabah Covid19 di Wuhan. Pada saat itu publik dan Pemerintah Indonesia menilai situasi masih aman-aman saja. Pun ketika waktu mulai memasuki bulan Februari 2020, penyebaran wabah bukannya berkurang, akan tetapi malah makin meluas ke banyak negara. Saat itu di Indonesia masih beranggapan seperti pameo yang biasa didengar “Belanda masih jauh”. Bahkan di saat negara lain mulai menutup bandara dan menerapkan lockdown, Indonesia justru gencar dengan mempromosikan pariwisatanya. Tepat di Bulan Maret 2020, seiring dengan pernyataan WHO menaikkan status dari epidemik menjadi pandemik, seketika itu pemerintah menyatakan bahwa Covid19 adalah bencana nasional.

Sejak itulah kita memasuki sebuah masa yang tidak terbayangkan sebelumnya. Kalau selama ini hanya melihat negara-negara lain yang terengah-engah menghadapi Covid19 dari pemberitaan yang ada, kini dipaksa untuk mengalaminya sendiri. Bahwasannya pandemik ini mengubah hampir seluruh sendi kehidupan. Ekonomi yang lesu dan merosot itu pasti. Tapi lebih dari itu secara fisik dan pola pikir manusianya juga berubah. Demikian pula dalam keilmuan yang diharuskan meresponnya.Tak terkecuali dalam bidang perencanaan tata ruang.

Terdapat beberapa catatan, fenomena dan gagasan terkait perencanaan tata ruang dalam rangka merespon Covid19 di Era New Normal, antara lain:

Ruang Bermatapencaharian Mengalami Perubahan

Pemerintah menyatakan keadaan darurat dan menerbitkan kebijakan PSBB, yang berimplikasi pada kewajiban bagi masyarakat untuk bermatapencaharian dari rumah masing-masing (Work From Home/WFH). Masyarakat dilarang keluar rumah kecuali untuk kebutuhan yang sangat urgent. Bagi sebagian besar pegawai atau pekerja, bahkan murid dan mahasiswa, berkegiatan secara daring di rumah adalah hal yang asing pada awalnya namun menjadi kewajiban yang tidak dapat dihindari. Dengan adanya pandemik ini, mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, semua kegiatan harus dilakukan secara daring dari rumah atau berbasis rumah. Semua diwajibkan melek teknologi bila tidak ingin ketinggalan informasi. Pada akhirnya “bekerja dari rumah” sudah berlangsung selama kurun waktu 3-4 bulan ini.

Ada fenomena dimana ruang bermatapencaharian mengalami dinamisasi / perubahan. Ketika bekerja dari rumah, yang awalnya dirasakan sebagai ketidaklaziman, yang kemudian pelan tapi pasti berubah menjadi kebiasaan baru, dan selanjutnya meningkat menjadi tradisi baru, serta mulai dirasakan manfaat dan efektifitasnya, maka ada nilai-nilai baru dalam memanfaatkan ruang. Ketika banyak pekerja melakukan WFH, dimana kemudian bekerja dari rumah sudah mulai dipersepsikan sebagai budaya baru, maka WFH mulai menggusur pemikiran bahwa ruang-ruang perkantoran tidaklah absolut. Ada ruang-ruang alternatif yang akan menggusur kebutuhan ruang-ruang perkantoran, yaitu ruang di dalam rumah. Tentunya akan ada implikasi untuk mengadopsinya, misalnya dibutuhkan tambahan ruang di rumah (ukuran ruang, jumlah ruang) untuk mengakomodasi tambahan kebutuhan ruang untuk bekerja, dan kemudian infrastruktur telekomunikasi yang merupakan komponen pendukung primer kegiatan bermatapencaharian dari rumah. Diakui atau tidak, pandemik telah menjadi katalisator dalam perubahan kebutuhan ruang dalam perencanaan tata ruang.

Kepadatan penduduk

Sebagaimana diketahui bahwa medium penularan Covid19 adalah melalui droplet, sehingga kata kuncinya adalah physical distancing. Makin dekat jarak fisik inter-personal, makin tinggi peluang terjadinya penularan. Fenomena jarak fisik inter-personal mengarah pada pembahasan tentang konsepsi density. Makin tinggi density, makin kecil human space size, makin kecil jarak fisik inter-personal, makin besar besar peluang terjadinya penularan.

Oleh karena itu di banyak wilayah kota, kepadatan penduduk persoalan yang membayangi pemerintah kota bila tidak dapat dikendalikan. Terlebih dengan adanya Covid19 ini kepadatan penduduk menjadi masalah tersendiri dalam upaya penanganannya. Semakin padat penduduknya maka semakin rentan akan penyebaran Covid19 yang semakin masif.

Selanjutnya, untuk merespon fenomena ini, dimasa depan maka konsep pembangunan perlu mempertimbangkan dengan ketat aturan tentang density. Pengaturan density bisa dilakukan melalui konsepsi vertikal dan horizontal. Dalam konsepsi horizontal, kepadatan penduduk perlu memperhitungkan human space size, dimana implikasinya adalah peningkatan besaran ruang, baik ruang domestik maupun ruang untuk kegiatan non-domestik. Karena ruang di wilayah kota/perkotaan pada umumnya terbatas, maka pilihannya ada pada pengembangan wilayah sub urban sebagai perluasan wilayah perkotaan, atau pindah ke wilayah perdesan dan bermetamamorfosis menjadi warga perdesaan. Dalam konsepsi vertikal, kepadatan penduduk yang diperhitungkan tetap dalam konteks horizontal dalam satu layer ketinggian, dimana implikasinya adalah peningkatan besaran ruang secara vertikal. Dimasa depan proses perencanaan tata ruang dan perancangan ruang kota dituntut untuk mulai memikirkan density (building density, population density) dalam merencanakan dan merancang kota

Kekumuhan dan Persoalan Sanitasi

Kekumuhan dan persoalan sanitasi merupakan persoalan klasik yang dihadapi banyak wilayah perkotaan di Indonesia, baik kota metropolitan, kota besar, juga kota menengah, jauh sebelum kasus pandemik ini muncul di dunia. Kekumuhan dan persoalan sanitasi kemudian menjadi issue nasional yang direspons dengan sejumlah kebijakan, strategi, dan program penanganan kekumuhan, sebut saja SPPIP, RPKPP, RP2KPKP, Kotaku, KIP, dan lain-lain. Keberadaan permukiman kumuh dan buruknya layanan sanitasi berpotensi menjadi inkubator penyebaran covid-19 di suatu cluster.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun