Mohon tunggu...
hesty kusumaningrum
hesty kusumaningrum Mohon Tunggu... Human Resources - swasta

seorang yang sangat menyukai film

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tabayyun akan Cegah Hoax

11 Oktober 2022   22:13 Diperbarui: 11 Oktober 2022   23:42 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama beberapa minggu ini di media sosial twitter, kita disuguhi cuitan seorang dokter Wanita yang meragukan soal keaslian ijazah Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo. 

Cuitan itu dilakukan selama beberapa waktu dengan menyertakan ijazah Bapak Joko Wiodo dan foto wisudanya. Dia juga menyertakan foto-foto pembanding yang berisi ijazah jurusan lain.

Dalam rangkaian cuitannya, dia menyertakan beberapa komentar yang meragukan penomeran ijazah. 

Dia juga mempertanyakan wajah dan kacamata milik presiden Joko Widodo yang dirasa aneh, karena saat ini Presiden Joko Widodo tidak memakai kacamata sedangkan foto di ijazah itu adalah berkacamata.

Saya tidak pada kompetensi apakah cuitan ini benar atau salah. 

Sangat sulit bagi seorang pejabat sekelas presiden dua periode yang punya salah satu Menteri yang merupakan rector tempatnya berkuliah, lalu dia juga pernah menjabat sebagai gubenur dua tahun dan walikota selama dua periode, ternyata berijazah palsu. 

Sehingga saya menangkap perasaan ketidaksukaan bahkan kebencian pada cuitan itu. Bayangkan dia mencuit hal seperti itu pada saat masih Orde Baru yang dipimpin oleh rezim X, kitab isa memperkirakan apa yang terjadi pada dokter itu.

Cuitan-cuitan dengan tone kebencian seperti ini seringkali berlindung dibalik demokrasi. Demokrasi yang dibuka secara terang bendarang saat reformasi dan meliputi berbagai bidang kehidupan termasuk informasi.

Hanya saja kebebasan berpendapat ini dilakukan secara salah dengan seringnya menyebarkan informasi tanpa mencari lebih dulu kebenarannya alias menyebarkan hoax. 

Media sosial mempermudah hal ini karena sangat mudah bagi jempol untuk meretweet  cuitan itu (twitter). Platform media sosial lain seperti facebook, atau Instagram bahkan medsos semi privat seperti WA dan Telegram terjadi hal seperti itu juga.

Ketidakjelasan informasi yang belum disertai dengan pernyataan kebenaran dari satu atau dua pihak bisa mengarah pada fitnah. 

Fitnah ini bisa menyasar ke banyak orang dan menjadi persoalan serius jika terkait dengan politik atau ekonomi. Kita ingat banyak berita tersebar saat kontestasi Pemilihan Presiden tahun 2014 dimana beberapa pihak menuduh salah satu kontestan sebagai eks PKI. 

Padahal Presiden Joko Widodo masih berumur sekitar 3-4 tahun ketika G 30 S PKI terjadi.

Sehingga kita bisa simpulkan bahwa isu itu bernuansa politis, hoax dan mengandung ujaran kebencian. Konyolnya, masyarakat merasa tak perlu bertabayun untuk mencari kebenaran informasi yang beredar. 

Mereka sering makan mentah-mentah informasi yang beredar di media sosial tanpa merasa perlu mencari lebih jelas soal itu.

Semoga ke depan kita bisa lebih bijak menerima dan menyebarkan informasi apalagi jika menggunakan media sosial. Jangan sampai karena tangan kita gatal untuk sekadar menyumbang komentar kita menjadi penyebar hoax, ujaran kebencian atau fitnah.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun