Mohon tunggu...
hesty kusumaningrum
hesty kusumaningrum Mohon Tunggu... Human Resources - swasta

seorang yang sangat menyukai film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maulid dan Keteladanan Nabi

23 Oktober 2021   13:01 Diperbarui: 23 Oktober 2021   13:05 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari lalu kita merayakan kelahiran junjungan kita yaitu Nabi Muhammad Saw. Banyak orang yang mengambil saat renungan sejenak pada peringatan itu. Ini layak dilakukan, makna Maulid Nabi amatlah agung, terlepas dari pergeseran hari libur nasional.

Mungkin kita bisa melihat di daerah pedesaan peringatan maulid nabi dirayakan dengan semarak. Mereka rela tidak berkarya selama beberapa hari, semisal bertani atau pedagang demi memperingati maulid nabi. Beberapa pusat keramaian sampai pasar relatif sepi karena sebagian dari mereka sedang rehat.

Kerelaan dan kesungguhan mereka untuk memperingati maulid tak lepas dari kecintaan mereka pada kanjeng Nabi Muhammad. Mereka mencintai sosoknya, sang nabi dengan segala pengorbanan dan kesabarannya untuk menyebarkan ajaran Islam, sampai menerima kekerasan verbal dan fisik pada saat memulai penyebaran.

Beliau juga sangat sabar dalam menghadapi kaum kafir yang saat itu memusuhinya. Tidak ada dalam benaknya. Tidak ada dalam benaknya untuk menyerang mereka karena perbedaan itu. Malah dengan lemah lembut beliau menerima penjelasan persoalan yang mereka debatkan.

Dalam Al-Qur'an khususnya surat Al-Kafirun ayat enam menegaskan keteladanan Nabi dengan jelas dan mendalam. Nabi Muhammad didatangi oleh kaum kafir untuk mengajak diskusi dan mencari titik temu antar ajaran agar tidak terjadi perselisihan. Ini adalah salah satu ujian intelektual Nabi Muhammad di depan umatnya. Kaum kafir pada saat itu merasa bahwa Nabi telah mengganggu ajaran mereka sehingga mereka merasa perlu memperdebatkannya.

Dihadapan banyak pengikut dan massanya, Nabi Muhammad mampu menjawab dan melemahkan argumen kaum kafir itu. Pada saat itu, Nabi memang bisa meyakinkan mereka soal kehidupan harmoni yang bisa mereka jalani meskipun masing-masing pihak tetap pada keyakinan dan ajaran mereka. Pada ayat keempat Al Kafirun disebutkan wa l ana 'bidum m 'abattum, artinya: dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.

Dan ayat kelima : wa l antum 'bidna m a'bud, artinya: dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.

Nabi mampu merumuskan jalan tengah bagi dua pihak untuk hidup berdampingan. Tanpa saling menganggu dan tanpa saling mencerca. Seperti pada ayat keenam Al- Kafirun : lakum dnukum wa liya dn. Artinya: Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.

Peristiwa ini memberikan gambaran kepada kita bahwa pada masa itu, nabi Muhammad sadar soal toleransi disamping kehidupan kita sebagai makhluk beragama, kita sejatinya merupakan mahluk sosial.

Demikian juga kita. Karena itu implementasi keteladanan nabi bisa kita terapkan dalam keseharian kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun